Namun, apakah Indonesia akan benar-benar dapat mengambil untung dari bonus demografi tersebut, sepenuhnya tergantung bagaimana kita mempersiapkannya hari ini. Jika generasi muda kita dipenuhi dengan hoaks, sikap penuh curiga, saling mengkafirkan, intoleran, saling memusuhi satu sama lain, radikalisme, maka bukan bonus demografi yang didapatkan, tetapi disintegrasi nasional. Padahal, tak ada satupun dalil agama, dalam agama apapun yang membenarkan sikap memusuhi sesama manusia.
Karena itu, Nadlatul Ulama sejak awal memiliki komitmen kebangsaan yang kuat, bahwa Indonesia ini bukan negara Islam, melainkan negara damai (darussalam) yang di dalamnya terdapat beragam agama, suku, etnis dan bahasa. Tak hanya komitmen di atas kertas, Nadhlatul Ulama memberikan bukti bahwa Indonesia harus menjadi rumah bersama yang mengayomi beragam agama, suku, dan etnis. Ketika perayaan Natal, Banser turun untuk menjaga gereja-gereja, sehingga ummat Kristiani merasa nyaman dalam beribadah. Beragam kegiatan perjumpaan antar pemeluk agama yang dapat melahirkan kesalingpahaman (mutual understanding) dan toleransi sering dilakukan oleh Nahdlatul Ulama dan pesantren-pesantren. Minggu lalu, pada 28 Oktober sampai 01 November, 230 siswa Kanisius berkunjung dan tinggal (live in) di sejumlah pesantren, termasuk pesantrennya Abuya Muhtadi di Banten.
Hal tersebut didasari bahwa sudah saatnya bangsa Indonesia mengembangkan sikap multikultural. Tidak cukup hanya toleran dengan membiarkan orang lain melaksanakan ibadah. Akan tetapi, yang harus kembangkan bersama adalah multikulturalisme, sebuah sikap yang tidak saja menerima keberbedaan, tetapi juga melakukan kerjasama dan kolaborasi di tengah keragaman bangsa Indonesia, demi tercapainya peradaban bersama.
Untuk mencapai peradaban Indonesia yang unggul tersebut, maka setiap kelompok agama perlu bergandengan tangan sehingga masalah sosial, ekonomi, politik dan lingkungan dapat dipecahkan bersama-sama.
Sikap multikulturalisme yang menjadi pedoman Nahdlatul Ulama ini memiliki dasar yang kokoh dan telah diteladankan oleh Nabi Muhammad S.A.W. Dalam Piagam Madinah disebutkan:
هَذَا كِتَابٌ مِنْ مُحَمَّدٍ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْنَ المُؤْمِنِيْنَ وَالمُسْلِمِيْنَ مِنْ قُرَيْشٍ وَيَثْرِبَ وَمَنْ تَبِعَهُمْ فَلَحِقَ بِهِمْ وَجَاهَدَ مَعَهُمْ. اِنَّهُمْ أُمَّةٌ وَاحِدَةٌ مِنْ دُوْنِ النَّاسِ
Ini adalah piagam dari Muhammad Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang mengikat di kalangan mukminin dan muslimin (asal) Quraisy, (asal) Yatsrib (Madinah), serta pihak lain yang mengikuti mereka, menggabungkan diri dan berjuang bersama mereka. Sungguh, mereka semua adalah satu bangsa (satu visi dan satu cita-cita), di samping bangsa-bangsa lainnya.
Ini artinya, dalam konteks Indonesia, kita semua dari agama dan suku yang berbeda-beda harus memiliki visi dan cita-cita yang sama. Karena itulah, Nahdlatul Ulama (NU) menolak keras kelompok-kelompok yang ingin mengganti Pancasila dengan khilafah Islam. Karena bagi NU, Indonesia berdasarkan Pancasila itu mutlak adanya, dan tidak bertentangan dengan syariat Islam.
Bapak/ibu para tokoh agama yang saya hormati
Melalui forum ini, saya ingin mengajak para hadirin, bapak/ibu semua, untuk mewujudkan dan melaksanakan perjanjian Abu Dhabi antara Paus Fransiskus dan Imam Besar al-Azhar, Syeikh Ahmed Al-Tayeb, melalui serangkaian kerjasama dan kerja bersama yang konstruktif untuk Indonesia. Persoalan Indonesia yang sangat kompleks seperti kemiskinan, ketidakmerataan kualitas pendidikan, monopoli sumber daya alam, konservatisme beragama dan lain sebagainya, tidak akan bisa diselesaikan sendirian, oleh satu kelompok saja, oleh satu agama saja ataupun oleh satu etnis. Karena itulah, sebagai upaya untuk menjaga kebhinekaan Indonesia, kita perlu menghadapi beragam persoalan itu secara bersama-sama.
Kiranya, demikian yang bisa saya sampaikan, semoga forum ini menghasilkan hal-hal yang berkontribusi untuk kemajuan bangsa dan negara Indonesia.
شُكْرًا وَدُمْتُمْ فِي الخَيْرِ وَالبَرَكَةِ وَالنَّجَاحِ
وَاللهُ المُوَفِّقُ إِلَى أَقْوَمِ الطَّرِيْقِ
وَالسَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحَمَةُ اللهِ وَبَرَكَتَهُ