Namun sebutan kitab kuning digunakan di Indonesia tidak terbatas pada kitab-kitab klasik yang berbahasa Arab. Ali Yafie pernah memberikan istilah terhadap kitab kuning, bahwa yang dimaksud dengan istilah tersebut bukanlah terbatas pada kitab-kitab agama (tauhid, fiqh, tasawuf) yang berbahasa Arab dan ditulis oleh orang Arab. Tetapi juga termasuk karya tulis ulama Nusantara baik yang berbahasa Arab maupun yang berbahasa Jawa.
Sedangkan kitab kuning itu sangat lekat dengan pesantren, karena merupakan lembaga kajian dan pengembangan kitab kuning. Pesantren tidak mengenal adanya buku-buku selain kitab kuning. Namun tidak menutup kemungkinan sebelum pesantren sebagai lembaga itu berdiri di Nusantara, kitab-kitab kuning sudah dipelajari di berbagai tempat.
L.W.C van den Berg pernah melakukan inventarisir kitab-kitab kuning yang digunakan di pesantren Jawa dan Madura pada abad 20. Menurutnya dari sekian banyak kitab kuning yang diajarkan di pesantren itu bisa dipetakan menjadi tiga genre. Yaitu, Fiqih, Tafsir dan Hadits.
Menurut Martin, ini berbeda dengan tradisi pembacaan kitab kuning di era Nurrudin Ar-Raniri, Abdurrauf as-Singkel abad 17, yang masih lekat dengan kitab-kitab filsafat bernilai tinggi.
Jika diajukan pertanyaan, darimana sebutan kitab kuning itu berasal? Belum ada temuan yang tegas terkait periode awal mula penyebutan istilah tersebut lahir. Hanya saja, pada tahun 1960 an, penyebutan kitab kuning ini menjadi sarkasme untuk kelompok NU sebagai organisasi Islam yang konservatif dan bergenre kampung serta tidak bisa lepas dari kitab kuning yag dinilai “usang.”
Sedangkan istilah kitab putih yang menunjuk pada kitab-kitab modern identik dengan Ormas modern seperti Muhammadiyah.