Ini berarti, kata khilafah dalam Al-Quran tersebut tidak merujuk pada pemimpin politik, melainkan ditujukan untuk memakmurkan bumi dan segala isinya. Sebab, tujuan utama manusia diciptakan oleh Allah adalah menjadi pengganti-Nya (khalifatullah fil ardhi) dalam mengatur dunia dan kehidupannya. Anehnya, beberapa ayat tersebut kerap dipaksakan dan dipelintir maknanya sedemikian rupa oleh para pengusung khilafah sebagai legitimasi untuk mendirikan Khilafah Islamiyah.
Sementara Kamaruddin Khan sebagaimana dikutip Ainur Rafiq dalam bukunya Membongkar Proyek Khilafah menyatakan secara tegas dan lugas bahwa konsep negara sama sekali tidak ada dalam Al-Quran. Walaupun terdapat term khilafah di dalamnya, namun hal tersebut tidak digunakan dalam pengertian politik sebagaimana yang dipahami kelompok pengusung khilafah. Sebaliknya, Islam sekadar menyediakan seperangkat nilai-nilai moral-etik yang dapat dijadikan panduan atau pedoman dalam bernegara semisal al-‘Adalah, (adil) al-Syura (musyawarah), al-Amanah (amanah), dll.
Ketiga, mereka mengklaim dengan nada penuh optimisme dan keyakinan power full bahwa penegakan Khilafah Islamiyah merupakan solusi tunggal di tengah krisis multidimensi yang dihadapi seluruh umat Islam di dunia ini. Dengan berdirinya sistem khilafah, keadilan, kesejahteraan, kedamaian, dan sebagainya bisa tercapai. Inilah doktrin-doktrin yang seringkali diedarkan atau diperjualbelikan kepada masyarakat agar mengikutinya.
Iya, negara memang merupakan sesuatu hal yang sangat urgen adanya sebab, tujuan didirikannya sebuah negara ialah untuk mewujudkan kemaslahatan bagi manusia secara lahir-batin, baik urusan duniawi maupun ukhrawi dalam hal ini agama. Sebaliknya, tanpa adanya negara agama tidak akan tegak dan kukuh. Maksudnya, nilai-nilai ajaran yang terkandung di dalam agama mustahil terealisasi semisal keadilan, amar makruf nahi mungkar, dan semua hal yang diwajibkan oleh Allah.
Namun demikian, menurut KH Afifuddin Muhajir dalam bukunya bertajuk Fiqih Tata Negara menyatakan bahwa negara dalam pandangan Islam bukanlah sebuah tujuan (ghayah), melainkan sebagai sarana atau instrumen untuk mencapai tujuan (wasilah). Karena posisi negara ialah sebagai instrumen maka menjadi masuk akal jika dalam teks wahyu, bentuk negara dan sistem pemerintahan tidak disebutkan secara tersurat dan terperinci. Sebaliknya, teks wahyu banyak berbicara soal negara dan pemerintahan secara makro dan universal.
Kalaupun mereka hendak memperbaiki krisis yang dihadapi umat Islam tersebut, khususnya di Indonesia, tidak perlu mengganti sistem pemerintahan yang ada. Mestinya, ia mengajak seluruh elemen bangsa untuk kembali kepada nilai-nilai yang terkandung di dalam kelima sila Pancasila. Bukan malah sebaliknya, berkeinginan untuk mengganti ideologi Pancasila dengan syariat Islam karena dianggap telah gagal menjalankan perannya.
Jika demikian, bisa dipastikan pergantian tersebut dapat menimbulkan permasalahan baru dalam tatanan kehidupan. Akhirnya, ia bukan lagi sebagai solusi. Maka tidak heran, apabila wacana pembentukan Khilafah Islamiyah ini digulirkan kembali banyak ditentang oleh pelbagai kalangan. Sebab, lebih banyak mafsadatnya ketimbang maslahat. Sebagaimana dinyatakan dalam kaidah fikih:
إِذَا تَعَارَضَ مَفْسَدَتَانِ رُوْعِيَ أَعْظَمُهُمَا بِارْتِكَابِ أَخَفِّهِمَا
“Apabila ada pertentangan antara dua mafsadat (kerusakan) maka mafsadat yang kadarnya lebih besar ditanggulangi dengan cara menerima mafsadat yang kadarnya lebih rendah.”
Dengan redaksi berbeda, kaidah lain juga mengatakan:
دَرْءُ الْمَفَاسِدِ مُقَدَّمٌ عَلَى جَلْبِ الْمَصَالِحِ
“Penolakan terhadap kerusakan harus diprioritaskan daripada pemerolehan kemaslahatan.”
Jadi, jelaslah bahwa argumen yang digelontorkan oleh para pengusung khilafah untuk mendirikan Khilafah Islamiyah tidak memiliki pondasi dan dalil yang cukup kuat dan memadai, baik dari sisi teologis (Al-Quran dan Hadis) maupun lainnya. Yang ada hanya klaim-klaim semata berdasarkan penafsiran subjektivitas mereka.
Saking tidak berdasarnya, dari masing-masing kelompok para pengusung Khilafah Islamiyah tersebut memiliki konsep ke-khalifah-an yang berbeda-beda. Bahkan, masing-masing dari mereka mengklaim bahwa ke-khilafah-annyalah yang paling benar dan sesuai dengan syariat. Sementara ke-khilafah-an kelompok lain dianggap salah.
Saya sependapat dengan pernyataan Gus Dur dalam buku Ilusi Negara Islam bahwa penyematan kata “Islamiyah” dalam term khilafah tidak lain hanya untuk memberi bobot teologis, dan lebih sebagai komoditas politik semata. Benarlah apa yang dikatakan oleh Ibnu Rusyd seorang filosof muslim terkemuka asal Andalusia, bahwa “kebatilan apa pun yang dibungkus dengan agama maka akan laku keras di masyarakat.” Wallahu A’lam