Menuju Gerakan Hijrah Substantif
Sebagai fenomena sosial-keagamaan, gerakan hijrah tentunya patut diapresiasi sepanjang berorientasi pada perbaikan dan transformasi moral umat Muslim. Maraknya generasi milineal dalam berhijrah menandakan kegairahan mereka dalam beragama (Islam). Namun demikian, gerakan hijrah akan kontraproduktif bilamana bertolak-belakang dengan spirit, doktrin, dan nilai-nilai Islam yang rahmatan lil ‘alamin. Untuk itu, menurut hemat penulis, seorang muslim yang hendak berhijrah perlu memperhatikan 4 (empat) hal berikut.
Pertama, hijrah harus dimaknai secara substantif bukan simbolik-normatif. Hijrah bukan semata-mata berpakaian syar’i serta memanjangkan jenggot dan mencukur kumis. Hijrah bukan sekedar mengenakan celana cingkrang dan menghitamkan jidat. Hijrah bukan sekedar melafalkan berbagai sapaan berbahasa Arab seperti ana, antum, akhi, ikhwan, ukhti, akhwat, ukhti fillah, akhi fillah, dan “sapaan-sapaan Islami” lainnya. Hijrah bukan dan tidak identik dengan Arabisasi. Hijrah harus dimaknai sebagai proses transformasi diri, yaitu ikhtiar sungguh-sungguh seseorang untuk memperbaiki moral dan meningkatkan kualitas diri. Berhijrah adalah upaya memperbaiki perilaku sebelumnya yang kurang baik menjadi lebih baik. Perilaku yang sebelumnya tidak/belum religius menjadi lebih religius dalam arti sesungguhnya.
Kedua, hijrah harus dibarengi dengan keterbukaan dan penghormatan terhadap perbedaan. Dalam konteks ini, seorang muslim yang memutuskan berhijrah tidak boleh merasa diri yang paling benar sendiri (truth claim), eksklusif, dan intoleran terhadap orang/kelompok lain yang berbeda, baik yang seagama maupun yang berbeda agama. Setiap Muslim harus menginsyafi bahwasannya perbedaan dan keragaman merupakan sunnatullah (desain dan kehendak Allah SWT). Perbedaan dan keragaman adalah lawazimul hayat (keniscayaan hidup). Oleh karena itu, seorang Muslim tidak boleh saling membid’ahkan apalagi mengkafirkan orang/kelompok lain yang berbeda pandangan keagamaan.
Beberapa waktu silam publik pernah dikagetkan dengan pernyataan Teuku Wisnu, selebritas dan aktivis hijrah, yang menganggap amalan orang yang mengirimkan Surat Al-Fatihah kepada orang yang telah meninggal sebagai bid’ah (menyimpang) karena tidak ada dalilnya dan tidak sesuai tuntunan Nabi Muhamamd SAW. Tentu saja statement Teuku Wisnu tersebut tidak mencerminkan kearifan seorang Muslim yang seharusnya menghargai keyakinan kelompok lain yang berbeda dengannya. Terlebih lagi ia adalah seorang public figure yang mestinya dapat menjadi teladan (role model) masyarakat.
Ketiga, hijrah harus dibarengi dengan kedalaman pengetahuan keislaman. Ghirah atau semangat beragama saja tidak cukup. Semangat berhijrah harus ditopang dengan pengetahuan keagamaan yang mumpuni. Tanpa wawasan keislaman yang memadai, pelaku dan aktivis hijrah rentan tergelincir dalam kesempitan berpikir (narrow-mindedness) dan eksklusivisme beragama. Akibatnya, ia cenderung merasa paling benar sendiri dan gampang menyalahkan orang/kelompok lain. Realitas ini marak kita jumpai pada pelaku hijrah. Untuk itu, idealnya pelaku hijrah tidak sekedar belajar agama secara otodidak saja. Pelaku hijrah tidak cukup hanya puas membaca dan mengutip literatur keagamaan dari “Mbah Google” semata, namun harus pula berguru pada ulama-ulama yang otoritatif dan memiliki sanad keilmuan yang jelas.
Keempat, hijrah harus dibarengi dengan komitmen kebangsaaan (nasionalisme) yang kuat. Selain komitmen keislaman, seorang pelaku hijrah mestinya memiliki komitmen kebangsaan/keindonesiaan. Ada kecenderungan pelaku dan aktivis hijrah mempertentangkan antara keislaman dengan paham kebangsaan (nasionalisme). Bahkan, di antara mereka ada yang mengharamkan nasionalisme dan Pancasila. Di mata mereka, nasionalisme tidak ada dalam Islam dan karenanya harus ditolak. Demikian pula dengan Pancasila yang dalam pandangan mereka dianggap thoghut. Tentu persepsi demikian tidak dapat dibenarkan dan tidak dapat ditoleransi. Setiap Muslim harus mengimani bahwa nasionalisme terdapat dan tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Akhirul kalam, manakala keempat hal di atas diaktualisasikan, penulis yakin gerakan hijrah akan sangat bermanfaat dan berdampak positif bagi kemaslahatan umat Muslim Indonesia. Allahu’alam bis-shawab
Baca Juga:
Apa Tantangan Millenial Belajar Islam?