Mungkin di antara yang menunjukkan pertentangan antara aturan fikih ini dengan kemanusiaan dan memperdalam hipokritas sosial, adalah bahwa banyak laki-laki non-Muslim yang menikahi perempuan Muslim dipaksa untuk menghindari hukum, di mana mereka mengubah agama mereka secara formal, tetapi mereka tetap menjalankan ajaran agama lama mereka secara rahasia. Dalam hal ini, ijtihad harus mencakup masalah keadilan hukum fikih, ketika seorang perempuan non-Muslim menikah dengan seorang laki-laki Muslim diharamkan untuk menerima warisan dari suaminya yang hidup bersama dengannya dengan sepenuh hatinya jika ia tetap setia pada agama lamanya dan tidak memeluk Islam.
Negara berpenduduk mayoritas Muslim yang melakukan upaya ini adalah negara Tunisia dengan menghapus undang-undang yang mencegah perempuan Tunisia menikahi laki-laki non-Muslim, dan Dar Al-Iftaa Tunisia atau Dewan Fatwa Tunisia mengeluarkan fatwa untuk mendukung keputusan tersebut. Namun, keputusan ini tetap menjadi satu-satunya di dunia Islam. Di sini muncul pertanyaan eksistensial: Apakah cinta dapat menyatukan apa yang dipisahkan oleh agama? Nikah beda agama seringkali menjadi pengalaman yang gagal dan menyakitkan, karena tekanan keluarga yang dialami oleh pasangan, sehingga pernikahan berubah menjadi hubungan hegemonik, seolah-olah agama dan budaya belum siap untuk hidup dan memberkati pengalaman yang mengancam ilusi perbedaan mereka.
Masalahnya kemudian adalah pendidikan agama anak-anak dan masalah kecenderungan mereka memeluk agama ayah atau ibunya. Ini merupakan masalah yang sering menyebabkan tekanan budaya yang mendalam pada anak-anak ini. Namun demikian, jenis pernikahan ini tetap merupakan pengalaman unik yang memungkinkan munculnya generasi baru orang-orang beriman yang mendasarkan afiliasi mereka kepada agama tertentu sebagai pilihan yang bebas.
Di sini nikah beda agama memunculkan pertanyaan meresahkan tetapi sangat penting: Mana yang lebih suci: agama atau cinta? Bukankah nilai cinta dan kasih sayang” di antara pasangan merupakan perwujudan insani dari kehendak ilahi dan lebih penting daripada masalah afiliasi agama itu sendiri? Bukankah kebebasan untuk memilih keyakinan dalam pernikahan beda agama merupakan kesempatan bagi semua agama untuk menerima modernitas dan zaman modern? Sebagian umat Muslim masih menganggap seorang perempuan Muslim yang menikah dengan laki-laki non-Muslim sebagai pezina. Tetapi kita katakan: perempuan yang kita lihat dengan suaminya bukanlah seorang pezina, tetapi seorang perempuan berbudi luhur yang hatinya dipenuhi dengan cinta dan kebaikan. Kita bisa mendoakannya: Semoga Tuhan memberkati pernikahan Anda, dan biarkan cinta menjadi jalan Anda menuju Tuhan!”[]
Baca Juga: Nikah Beda Agama (1)