Kata “al-hukm” dalam bahasa al-Qur`an berarti menegakkan keadilan di antara manusia [QS. al-Nisa`: 58]. Di ayat lain berarti menyelesaikan perselisihan [QS. al-Zumar: 3]. Juga berarti nasehat dan hikmah [QS. al-Syu’ara`: 21]. Sama sekali tidak ada yang mempunyai arti otoritas politik.
Al-Qur`an menyebutkan tentang otoritas politik dalam makna seperti yang populer saat ini dengan kata “al-amr”. Dari kata ini kemudian muncul “al-amîr”, yaitu orang yang memegang kendali kekuasaan dan pemerintahan, makanya Umar ibn al-Khatthab menyebut dirinya Amirul Mukminin (pemimpin orang-orang beriman) yang juga dijadikan sebutan untuk dua khalifah setelahnya (Utsman ibn Affan dan Ali ibn Abi Thalib).
Sebenarnya, apapun itu bentuk negara, tidak menjadi soal. Tetapi yang menjadi persoalan adalah ketika otoritas politik dijadikan senjata ampuh untuk memeras dan menindas rakyat. Tujuan utama pendirian sistem politik bukanlah penguasaan, atau pemaksaan atau penundukan rakyat untuk kepentingan para penguasa, tetapi pembebasan dari rasa takut, sehingga setiap orang dapat hidup dalam keadaan damai. Tujuan dari sistem politik bukan mengubah manusia menjadi sebatas hewan-hewan atau alat-alat, tetapi untuk mencapai keselamatan akal dan tubuh, artinya bahwa sebenarnya tujuan daripada sistem politik adalah kebebasan.
Di dalam masyarakat munculnya kekuasaan bisa dari kelompok atau dari sebagian orang atau dari satu orang. Setiap orang mempunyai hukumnya sendiri dan boleh memasrahkan haknya kepada otoritas negara tanpa harus melepaskan kebebasannya dalam berpikir dan menyampaikan pendapat, tentu saja dengan syarat harus berpijak pada akal, bukan pada penipuan atau penghianatan, serta tidak didorong oleh perasaan dendam dan perasaan benci. Setiap orang bisa mengutarakan apa yang dipikirkannya tanpa mengganggu keselamatan negara dan keamanan internalnya.
Selama negara masih berpijak pada keadilan, setiap warga negara harus menerima segala ketentuan yang telah ditetapkan, meskipun mungkin ketentuan-ketentuan tersebut berlawanan dengan pendapat pribadinya. Artinya, negara masih menerima kebebasan orang lain, dan keputusan-keputusan yang diambil muncul dari kesepakatan masyarakat, kendati ada beberapa orang yang tidak sepakat. Adalah lumrah kalau percaturan politik selalu saja dilalui dengan pertentangan pendapat yang begitu “keras” dan “panas”, namun ketika sudah diputuskan, maka harus diikuti. Ini sama dengan sebuah kasus di masa Nabi ketika beliau kalah dalam memenangkan pendapatnya.
Tetapi, adakah pendapat-pendapat yang akan mengancam keutuhan negara? Jelas ada, yaitu pendapat-pendapat yang mengancam dengan melepaskan ikatan yang dengannya para warga memasrahkan hak mereka kepada negara, misalnya pendapat-pendapat anarkis yang disertai tindakan-tindakan anarkis pula. Sedangkan pendapat-pendapat yang tidak membawa konsekuensi praktis yang mengancam keselamatan negara tidak dianggap sebagai tindak kejahatan, kecuali bila negara tersebut dipimpin oleh seorang fanatis dan bodoh yang memang hendak menteror manusia.