Ketiga istilah di atas berbeda antara satu sama lain. Dua istilah pertama mengandung tanggungjawab-tanggungjawab spiritual, sedangkan yang ketiga berarti menjalankan atau memainkan kekuasaan yang diperoleh melalui jalan kekuatan dan berlangsung berkat adanya kekuatan tersebut. Di sinilah letak perbedaan antara al-khilâfah (kekhalifahan) dan al-sulthanah (kesultanan, kerajaan). Kita temukan, dua hal ini seringkali bercampur aduk dan bertumpang tindih dikarenakan para sultan Turki mengklaim sebagai pewaris khilafah.
Setelah satu generasi dari wafatnya Rasulullah Saw., negara Islam telah menjadi kekaisaran yang sebenarnya, dan khilafah menjadi warisan turun-temurun di awal masa pemerintahan Umawiyah pada tahun 660 M. Sehingga dengan otomatis khalifah menjadi seorang kaisar seperti kaisar Persia atau kaisar Roma.
Para khalifah dan para ahli fikih “teras” berpijak pada sebuah perspektif—meskipun secara implisit—yang mengatakan bahwa khalifah merupakan pewaris hak-hak Nabi, sehingga fikih Islam tampak hanya tertarik kepada masalah khalifah berikut hak-haknya, dan sedikit sekali menaruh perhatian pada hak-hak rakyat.
Selama sejarah kekhilafahan Islam, penerapan politik selalu saja bertentangan dengan kepentingan-kepentingan manusia. Keadilan, harta dan otoritas keagamaan menjadi milik pribadi seorang khalifah, menjadi hak anak-anaknya dan para menterinya.
Dengan pemahaman yang salah terhadap agama dan al-Qur`an serta pandangan-pandangan tradisional dan khayalan yang tidak sebenarnya terhadap kehidupan Nabi berikut para sahabat beliau, khilafah kembali kepada keadaan semula, yaitu kekuasaan kabilah, di mana orang-orang Quraisy (orang-orang Umawiyah, Abbasiyah dan para pendukung Ali ibn Abi Thalib) mulai masuk ke dalam konflik atas dasar bahwa khilafah hanya merupakan hak anak-anak dan keturunan-keturunan mereka saja, sebab mereka termasuk dari kabilah Rasulullah Saw. Sehingga khilafah hanya dikuasai oleh kabilah Quraisy selama sembilan abad, dimulai dari al-Khulafâ` al-Râsyidîn, kemudian dinasti Umawiyah, dinasti Abbasiyah dan setelah itu dinasti Fathimiyah.
Kendati kondisi-kondisi historis dan sosial mengalami perubahan, namun khilafah tetap hanya dimonopoli oleh kabilah Quraisy. Dan secara sederhana, oleh banyak orang, ini dipahami sebagai perintah agama, sunnah Nabi dan syariat Allah, sehingga orang-orang non-Arab tidak diberi ruang untuk berpartisipasi dalam politik dan mengurus masalah-masalah pemerintahan.
Pandangan fikih klasik selalu menegaskan bahwa kekuasaan orang-orang non-Quraisy terhadap umat Muslim tidak dibenarkan. Padahal khilafah, paling tidak menurut Sunnah, bukan sistem keagamaan. Perubahannya menjadi sistem keagamaan pada perkembangan berikutnya, yang oleh para ahli fikih dianggap sebagai “penjaga agama dan pengatur masalah-masalah dunia”. Dan ini telah melahirkan keyakinan di kalangan orang-orang awam bahwa para khalifah adalah ma’shum dalam ucapan dan perbuatan mereka.