Selain itu, yang paling penting dari peranan pesantren Tegalsari adalah keberhasilannya menerjemahkan Islam ke dalam kerangka pandang sosial dan kultural masyarakat. Namun eksistensi tersebut tidak bisa terlepas dari pergerseran yang semula muslim urban menuju pedalaman dan tradisional yang melekat pada institusi pesantren, (Benda, 1983:12-13), yang lambat laun menghadirkan suatu komunitas keagamaan yang bebeda, dengan suatu bentuk pemikiran yang khas.
Generasi setelahnya, pesantren Darat yang didirikan oleh Kiai Soleh Darat (1820-1903) di Semarang juga merupakan kelanjutan dari pesantren Tegalsari. Nama Pesantren Darat yang didirikan sekitar tahun 1870, (Umam, 2013:247) oleh Kiai Soleh bisa sebagai penerjemahan Islam ke dalam konteks budaya Jawa yang tidak hanya mengajarkan Islam pada masyarakat setempat, tetapi juga mencetak ulama-ulama di Nusantara pada abad 20. Kiprah besar tersebut karena Soleh Darat terbukti memiliki kemampuan intelektual mumpuni. Sampai sekarang bisa kita lihat melalui karya-karyanya yang ditulis dengan khas lokal yang tidak diajarkan di pesantren saja, melainkan di masjid dan tempat ibadah, (Umam, 2013:245).
Menariknya, sejak era Soleh Darat ini, pesantren berhasil mensintesiskan antara polarisasi masyarakat abangan dan putihan, melalui kitab-kitab yang dikarang baik yang memuat ajaran fiqih, tasawuf dan Tafsir Al-Qur’an yang ditulis dengan bahasa Jawa beraksara Arab (Umam, 2011:26). Umam melihat jika upaya Soleh Darat tersebut menghasilkan dua agenda besar. Pertama, kesuksesannya menggunakan pelokalan bahasa (vernakulariasi) dan pemahaman lokal untuk menyampaikan ajaran Islam serta praktiknya secara jelas. Kedua, mengaktifkan masyarakat Jawa untuk berfikiran keluar dari komunitas sempit menuju komunitas global umat muslim.
Hasil dari agenda tersebut dapat ditemukan dari para santri Soleh Darat, di antaranya Hasyim Asy’ari (w. 1947) dan Ahmad Dahlan (w. 1923) yang masing-masing dikenal sebagai pendiri Organisasi Islam terbesar di Indonesia. Secara lebih luas, capaian-capaian brilian dari para alumni pesantren juga terus memberikan kontribusi hingga dewasa ini. Rumadi memberikan kategori post-tradisionalisme kepada para alumni pesantren yang memiliki pemikiran keagamaan progresif, (Rumadi, 2008:20).
Istilah Rumadi tersebut sebenarnya merujuk pada anak-anak muda NU yang merupakan alumni pesantren dan aktif melakukan revitalisasi tradisi. Karakteristik ini juga dilihat pada konsistensi dalam menjaga tradisi serta memanfaatkannya untuk pengembangan pemikiran dan menggerakkan perubahan. Menurutnya, anak-anak muda yang bertipikal seperti ini sangat aktif melakukan kritik agar tradisi dapat memiliki daya guna, sehingga apapun yang mereka lakukan dalam koridor dan pertanggung jawaban tradisi. Pandangan seperti ini yang oleh Ernest Gallner disebut sebagai semangat Islam yang kosmopolitanisme dan universalisme sejati sebagai modal bisa survive terhadap tantangan modern, (Gallner, 198: 4-5).
Para alumni pesantren tersebut sarat dengan pendidikan tradisionalis ketika masih belajar di pesantren yang ciri khasnya dapat dipetakan sebagaimana berikut: Pertama, terikat dengan pemikiran Islam tradisional dari para ulama abad 7 sampai 13. Kedua, mayoritas berdomisili di pedesaan yang menjadi basis pesantren. Ketiga, mengikuti faham Ahlussunnah wal jamaah yang membedakan sunni dan non sunni. Selanjutnya bisakah pesantren saat ini mempertahankan peranan penting ini atau bahkan ada yang lebih penting?
Baca Juga:
Kitab Hujjah Ahlussunnah Wal Jama’ah karya KH. Ali Maksum Krapyak