Remaja merupakan masa ‘badai.’ Bila tak mendapat pendidikan life skills yang memadai, mereka rentan terpapar radikalisme. Kaum radikalis memprioritaskan remaja sebagai sasaran. Tanpa kontrol dan keterampilan literasi media yang baik, remaja bisa mendadak radikal. Jika remaja sudah memiliki pola pikir radikal, ia pun akan bersikap dan berperilaku radikal.
Orang tua, keluarga, sekolah, dan masyarakat harus memahami bahwa remaja membutuhkan pembinaan dalam meningkatkan kemampuan psikososial. Kemampuan psikososial akan menjadi vaksin anti radikalisme yang efektif. Remaja yang mendapatkan pendidikan life skills akan relatif lebih mudah dalam mengaktualisasikan diri. Kabar baiknya, ia akan mudah menjalin persahabatan (relationship), sukses dalam kehidupan akademik, dan bersosial.
Bila remaja berkesempatan untuk mendapatkan pendidikan life skills, ia akan tumbuh menjadi pribadi yang adaptif. Pun ketika hendak terperangkap radikalisme, remaja yang adaptif akan mudah lolos. Ia lincah dalam mengatasi berbagai problema. Agar mampu melewati masa ‘badai’ dan terbebas dari pengaruh buruk teman sebaya, remaja harus memiliki tiga keterampilan hidup (life skills), yaitu keterampilan sosial, keterampilan berpikir, dan keterampilan emosional.
Pertama, keterampilan sosial. Keterampilan sosial meliputi kesadaran diri, hubungan impersonal, empati, dan komunikasi efektif. Sejak dini, keluarga perlu menstimulasi anak untuk memiliki kesadaran diri yang baik. Anak harus dilatih untuk menerima perasaan diri, dan berdamai dengan rasa kecewa. Bila anak sudah mendapat pondasi awal yang baik, maka akan mudah baginya untuk memiliki keterampilan internasional di masa remaja. Keterampilan sosial pada remaja juga dapat diasah dengan menumbuhkan dan memupuk sikap empati. Adanya empati yang baik akan mendorong remaja untuk memiliki keterampilan komunikasi efektif.
Pendidikan perdamaian dan toleransi dalam keluarga merupakan pondasi utama sikap empati. Toleransi yang diaktualisasikan orang tua dalam keteladanan, dapat menjadi modal psikologis bagi anak untuk bersikap toleran. Sikap toleran adalah kontra radikalisme. Dengan memupuk sikap toleransi anak sejak dini dan merawatnya ketika anak berusia remaja, maka anak memiliki basic tolerance untuk menghalau radikalisme.
Kedua, keterampilan berpikir. Remaja yang memiliki kemampuan berpikir kritis tak akan mudah hanyut dalam arus provokasi. Ia akan selalu siap menganalisa ajakan-ajakan yang rentan mengandung muatan provokasi dan adu domba. Remaja dengan keterampilan berpikir mumpuni dididik oleh keluarga yang aktif berdialog. Tak hanya dialog hampa, namun dialog yang mampu mematangkan keterampilan berpikir untuk pengambilan keputusan.
Ketiga, keterampilan emosional. Keterampilan emosional yang baik dapat melindungi remaja dari ancaman radikalisme. Sebagaimana kita pahami bersama, radikalisme masuk melalui ‘tembakan-tembakan’ emosi negatif terhadap pandangan perdamaian. Pada umumnya kaum radikal akan memberikan informasi dan provokasi. Mereka mengincar remaja yang tak memiliki keterampilan emosional memadai. Oleh karena itu, komitmen menangkal radikalisme harus diimbangi dengan upaya pendewasaan emosi.