Pada hari ulang tahun Nahdlatul Ulama ke 98, Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Prof. Dr. KH. Said Aqil Sirodj, memberikan pidato yang sangat inspiring dan perlu menjadi perhatian kita bersama. Salah satu pokok pikiran yang dalam hemat saya penting direspon adalah terkait usulannya agar media online kelompok wahabi, penyebar haoks, makar dan radikalisme harus ditutup.
Usulan Kiai Said ini bukan tanpa argumen yang kuat. Pertama, Kiai Said sendiri menjelaskan bahwa usulannya ini tidak sembarangan, melainkan merujuk kepada al-Qur’an, tepatnya Surat Al-Ahzab ayat 60. Ayat tersebut berisi perintah Allah kepada nabi Muhammad agar memerangi dan mengusir orang-orang munafik, orang-orang yang hatinya berpenyakit, penyebar kebohongan.
Yang menarik dari ayat tersebut, nabi Muhammad tidak diperintahkan untuk memerangi dan mengusir orang yang berbeda agama dan suku, melainkan orang-orang yang munafik, penyebar fitnah, kebohongan dan kegaduhan. Alasannya, karena kelompok-kelompok tersebut dapat memecah belah persatuan, kekeluargaan dan harmoni sosial.
Ayat tersebut turun di Madinah (ayat madaniyah). Seperti yang kita tahu, Madinah dihuni oleh beragam suku dan agama yang berbeda-beda yang hidup secara damai dan berdampingan. Karena itu, segala hal yang sekiranya menciptakan permusuhan, fitnah, kerusakan, dan disintegrasi perlu diantisipasi dan ditindak secara terukur. Ini tentu berlaku kepada suku dan agama mana saja.
Kedua, sejumlah kajian telah menunjukkan relasi yang kuat antara radikalisme-terorisme dengan wahhabisme, antara wahhabisme dengan ISIS (Islamic State in Iraq and Syiria). Sama seperti ISIS, wahhabisme menyerukan ideologi takfiri dengan menganggap Islam versi mereka sebagai satu-satunya kebenaran, sehingga kelompok Islam di luar dirinya dianggap sesat, kafir dan harus diperangi. Contohnya, karena tidak sejalan dan sepaham dengan Islam versinya, Muhammad bin Abdul Wahhab (1703-1791) memvonis Sultan Ustmani sebagai murtad dan layak dihukum mati. Karena ideologi takfiri inilah, gerakan dakwah Muhammad Ibn Wahhab semasa hidupnya, menurut Fazlurrahman (1984) dipenuhi dengan kekerasan.
Dalam konteks inilah, kita harus memahami bahwa tindakan kekerasan dan terorisme bukan sumber utama, tetapi sebuah ekspresi dari kristaslisasi paham dan ideologi yang mengarah pada kekerasan. Aksi teror merupakan wujud nyata dari terpaparnya seseorang dari ideologi yang menganggap orang dan kelompok lain sebagai kafir, sesat, thaghut yang halal darahnya untuk dibunuh. Karena itulah, sejatinya bahaya terorisme terletak dari paham dan ideologi yang mendrong seseorang melakukan tindakan kekerasan atas nama agama.
Dalam konteks Indonesia misalnya, kajian yang dilakukan Zubair (2019) menunjukkan bahwa pemikiran-pemikiran terpidana tindak pidana terorisme Aman Abdurrahman banyak dipengaruhi oleh ideologi wahabi, terutama terkait dengan konsep keimanan dan kekufuran serta implikasinya terhadap perkataan dan perbuatan seorang muslim.
Irisan Wahabi dan Radikalisme
Tentu saja, ideologi Wahhabi bukan teroris, tetapi—sebagaimana juga berulangkali disampaikan Kiai Said—ajaran-ajaran wahabi hanya satu digit di belakang terorisme. Disebut demikian karena terdapat sejumlah irisan antara ajaran wahabi dengan paham radikal.
Saya ingin memotret irisan wahabi dan paham radikal ini sebagaimana dikatakan oleh Brigjen. Pol. R. Ahmad Nurwakhid, S.E., MM, Direktur Pencegahan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) tentang indikator radikalisme mengatasnamakan agama.
Pertama, politisasi agama. Keduanya sama-sama mengizinkan memanipulasi ajaran-ajaran agama untuk meraih kekuasaan, yaitu berdirinya Daulah Islamiyah. Dalam konteks Indonesia, kelompok ini jelas saja anti Pancasila, karena yang mereka kehendaki adalah suatu negara yang berasaskan Islam (dalam versi mereka). Ini tentu bertentangan dengan keputusan organisasi Islam moderat pada umumnya, seperti Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah.