Islam di Indonesia tidak bisa kita lupakan dari pengaruh Cina dan Champa (Vietnam). Banyak teori mengungkapkan Islam datang dari Gujarat, Persia, dan Arab. Namun, hal yang dirasa anti-mainstream adalah Islam di Indonesia datang dari daratan Cina.
Dalam buku “Arus Cina-Islam-Jawa” karya Sumanto Al Qurtuby (2005), membuat kalangan Islam, khususnya di Indonesia mengubah pandangan yang selama ini tertanam dengan teori-teori kedatangan Islam dari Gujarat (India) dan Arab (Hadramaut). Hasil penelitian Sumanto ini penting karena mencoba memasukkan etnis Tionghoa sebagai bagian umat Islam.
Kemudian dalam buku yang ditulis Parlindungan (2007), Tuanku Rao Lampiran 31 berjudul “Peranan Orang2 Tionghwa/Islam/Hanafi Didalam Perkembangan Agama Islam Di Pulau Djawa, 1411–1564,” menjadi rujukan utama orang-orang yang meyakini Wali Songo merupakan ulama berdarah Tionghoa. Pernyataannya sebagai berikut:
“… betapa besarnja pengaruh dari Orang2 Tionghwa/Muslim/Hanafi didalam perkembangan Agama Islam di Asia Tenggara, di zaman Ming Dynasty (= 1368–1645) umumnja, dan di waktu Laksamana Hadji Sam Po Bo (= 1405–1425) chususnja. Peranan itu antara lain dapat dipeladjari dari buku „Ying Yai Sheng Lan” karangan Hadji Mah Hwang pada tahun 1416, buku „Tsing Tsa Sheng Lan” karangan Hadji Feh Tsing pada tahun 1431, dan sangat banjak lagi buku2 serupa itu karangan Hadji2 Orang2 Tionghwa. Untuk dapat mempeladjari buku2 itu …, tentulah perlu terlebih dahulu dipeladjari Tulisan Tionghwa dan Bahasa Tionghwa, tjabang-pengetahuan jang disebut “Sinology”.”
Namun, di catatan Ma Huan yakni Ying Yai Sheng Lan dan kitab Tsing Tsa Sheng Lan karya Haji Feh Tsing, tidak ada keterangan soal kuatnya pengaruh dari orang-orang Tionghoa Muslim bermadzhab Hanafi terkait perkembangan Islam di Asia Tenggara ― baik dari periode dinasti Ming, maupun di era Laksamana Hadji Sam Po Bo alias Cheng Ho― seperti yang diungkit oleh sejarawan Batak tersebut.
Selanjutnya mulai ada persinggungan Cina dengan Nusantara ketika Dinasti Han Timur (25–220). Saat itu, Cina menamai Nusantara dengan “Yetiao”. Negeri Yetiao mengutus orang dan mempersembahkan upeti kepada Dinasti Han Timur. Ini tercatat dalam Kitab Han Akhir (Hou Han Shu) jilid 6 yang dikompilasi Fan Ye (398–445), pada bulan 12 tahun ke-6 pemerintahan Kaisar Shun (131).
Kemudian pada dinasti Tang (618–907), pengaruh Cina di Nusantara terkait agama Islam yang masuk ke Cina dan dianut penduduk Cina pada pertengahan abad ke-7 Masehi. Itu dikarenakan adanya kontak perdagangan antara Arab dan Canton sudah ada sekitar tahun 600 Masehi, melalui Selat Malaka. Tetapi, Islam baru dianut pada pertengahan abad ke-8, saat putera mahkota Su Tsung, anak kaisar Hsuan Tsung meminta bantuan Khalifah al-Mansur dari Abbasiyah untuk mengatasi pemberontakan.
Di masa Dinasti Song (960–1279), pusat politik dan ekonomi berpindah ke Cina bagian selatan. Pelabuhan Quanzhou yang juga di daerah itu ikut juga naik reputasinya, bahkan menyalip pelabuhan Guangzhou. Tujuannya untuk mengurus perniagaan luar negeri yang kian meninggi, di Quanzhou didirikan Kantor Komisi Perdagangan Luar Negeri (Shibo Si) yang bahkan, ditulis Sejarah Song (Song Shi) jilid 47, selama 30 tahun dikepalai oleh muslim bernama Pu Shougeng.
Dalam catatannya, Ibn Baṭūṭah pernah menulis tentang Quanzhou. Disitu menyebutkan Quanzhou sebagai “al-Zaitūn”. Quanzhou sebagai kota kosmopolitan dan tempat berkumpulnya saudagar mancanegara. Dan dari situlah, berbagai macam agama luar Cina dengan beragam aliran tumbuh kembang di sana. Hingga kini, Quanzhou masih dibanggakan Cina dengan sebutan “museum agama dunia” (shijie zongjiao bowuguan).
Perdagangan maritim dilanjutkan oleh Dinasti Yuan (1271–1368) pasca Dinasti Song ditaklukkan total oleh orang-orang Mongol. Saudagar-saudagar Arab dan Persia pun makin intens berdatangan.
Pada saat Khubilai Khan berkuasa tahun 1275 Masehi, ia memberikan kebebasan dan kepercayaan kepada orang-orang Islam dari Turkestan di Asia Tengah untuk keluar masuk negeri Cina, bahkan diberi posisi strategis dalam pemerintahan. Alkisah, dalam historiografi Cina, dapat dikenal dengan istilah “di masa Yuan, muslim bertebaran di mana-mana” (Yuan shi Huihui bian tianxia).