Lebih dari itu, dewasa ini memang tidak sedikit pondok pesantren yang dipimpin oleh para ibu nyai. Terlepas dari berbagai latar belakang historis di atas.
Peran Bu Nyai
Maka dengan posisi tersebut seorang ibu nyai mengambil peran yang begitu sentral dengan permasalahan yang lebih kompleks dibanding saat sang kyai yang menempati posisi tersebut. Bagaimana tidak? Mereka yang sebelumnya hanya fokus mengerjakan hal-hal yang bersifat domestik.
Pada saat yang bersamaan, kini mereka juga harus menjalani peran yang biasanya dilakukan oleh sang kyai yakni memikirkan pesantren sekaligus mengerjakan segala hal yang bersifat publik lainnya.
Namun, hal itu tidak menjadikan seorang ibu nyai semakin terpuruk dan tidak berdaya justru mungkin malah sebaliknya. Mereka lebih cekatan, progresif, dan bahkan produktif. Mengapa demikian? karena mungkin mereka juga sejatinya sudah terbiasa memikul beban ganda (double garden) bahkan saat sang kyai masih ada.
Misal, seperti dengan menjadi istri sekaligus menjadi ibu nyai, menjadi ibu rumah tangga sekaligus mengajar para santri, mengurus anak sekaligus mengimami jamaah bagi pondok pesantren yang memiliki santri putri, dan beban ganda lain yang mungkin tidak disadari oleh publik atau bahkan sang ibu nyai sendiri.
Sehingga dengan demikian, mereka tidak terlalu kaget dengan posisi barunya sebagai pimpinan pesantren. Selain karena memang sudah terbiasa dan terlatih juga mungkin mereka yang biasanya dominan menggunakan perasaan kini juga harus pandai-pandai memutar otaknya dalam mengelola pesantren.
Oleh karena itu, pada akhirnya segala pertimbangan, kebijakan, atau keputusan dari seorang ibu nyai untuk pesantren itu sudah diproses matang-matang baik dari sisi emosional ataupun kerangka berpikir.
Peranan terakhir yang paling penting dari seorang ibu nyai adalah bahwa dengan mereka menjadi pemimpin pesantren mereka mendorong para perempuan lain untuk tampil percaya diri dalam ruang publik, menyampaikan pandangan-pandangan berdasarkan pengalaman biologis perempuan sendiri yang jarang dipahami dan sering diabaikan oleh golongan laki-laki.
Pada saat yang bersamaan kehadiran mereka membantah sekaligus menjawab perdebatan dan keraguan kepemimpinan perempuan bahwa nyatanya perempuan juga mampu menjadi seorang pemimpin pesantren sebagaimana laki-laki.