Peristiwa yang belum hilang dari ingatan hingga saat ini misalnya, ketika Neil Amstrong berhasil mendarat di bulan, sebagian ulama dan intelektual muslim segera menyemarakkan penafsiran terhadap surah ar-Rahman ayat 33:
يٰمَعْشَرَ الْجِنِّ وَالْإِنسِ إِنِ اسْتَطَعْتُمْ أَن تَنفُذُوا مِنْ أَقْطَارِ السَّمٰوٰتِ وَالْأَرْضِ فَانفُذُوا لَا تَنفُذُونَ إِلَّا بِسُلْطٰنٍ
“Wahai golongan Jin dan Manusia, jika kamu sanggup melintasi pembatas langit dan bumi. Kalian tidak akan mampu menembusnya kecuali dengan kekuatan,” (QS. Ar-Rahman [55]: 33).
Dengan ayat tersebut, mereka berkesimpulan bahwa kalian tidak akan mampu menembus langit dan kecuali dengan ilmu pengetahuan. Padahal ayat tersebut kalau dalam pandangan rumpun ayatnya tidak ada sangkut pautnya dengan keberhasilan manusia naik ke bulan.
Ulama yang tidak setuju dengan adanya penalaran sains dari al-Qur’an tersebut antara lain adalah Abu Ishaq as-Syatibi (w. 790 H). Ia menjelaskan bahwa syariat Islam muncul dengan tingkatan ilmu yang dikenal bangsa Arab dan tidak keluar dari apa yang mereka bentuk.
Ilmu pengetahuan sebenarnya sudah dikenal oleh bangsa Arab sebelum al-Qur’an diturunkan, seperti ilmu astronomi, ilmu meteorologi dan geofisika, ilmu kedokteran, ilmu retorik, ilmu ramal dan perdukunan. Sedangkan agama Islam telah membagi ilmu pengetahuan itu menjadi dua bagian yaitu ilmu yang benar dan ilmu yang sesat, serta Islam sudah menguraikan manfaat dan bahaya dari ilmu-ilmu tersebut.
Jadi hubungan antara al-Qur’an dan ilmu pengetahuan, menurut al-Syathibi menambahkan bahwa ulama terdahulu (salaf) tidak pernah mengkorelasikan ilmu-ilmu pengetahuan dengan al-Qur’an karena tujuan dari diturunkannya al-Qur’an untuk menguraikan hukum-hukum dan segala yang berkenaan dengan akhirat.
John F. Hougt memberikan mediasi ketika terjadi perjumpaan antara agama dan sains, yang menawarkan tiga model pendekatan. Pertama, pendekatan konflik, yang merupaan suatu keyakinan bahwa pada dasarnya sains dan agama tidak dapat dirujukkan. Kedua, pendekatan kontras. Yaitu suatu pernyataan bahwa tidak ada pertentangan yang berarti karena agama dan sains saling memberi tanggapan terhadap masalah yang berbeda.
Ketiga, pendekatan kontak, yaitu suatu pendekatan yang mengupayakan dialog, interaksi, dan kemungkinan adanya “penyesuaian” antara sains dan agama, dan terutama mengupayakan cara bagaimana sains ikut mempengaruhi pemahaman religius dan teologis. Keempat, pendekatan konfirmasi, yaitu suatu prespektif yang lebih tenang tetapi sangat penting, karena prespektif ini menyoroti cara-cara agama, pada tataran yang mendalam, mendukung dan menghidupkan segala kegiatan ilmiah.