SEJAK kecil mungkin banyak pertanyaan yang bergulir di benak perempuan saat ia menyaksikan cara keluarganya memperlakukan tubuhnya dibandingkan dengan tubuh laki-laki yang sebaya dengannya di dalam keluarganya. Perasaan panik dan takut muncul di hati para anggota keluarganya begitu ia menginjak usia dewasa (baligh) seiring dengan tampaknya tanda-tanda keperempuanan di tubuhnya. Ia mulai dilarang bermain di jalan bersama teman-temannya, dan ia mulai dituntun untuk mengubah caranya dalam bergaul, berpakaian, berbicara, berjalan, dan duduk di tengah-tengah orang banyak.
Tetapi lihatlah, perlakukan keluarganya terhadap laki-laki di keluarganya sama sekali tidak berubah. Laki-laki di dalam keluarganya terus tumbuh dan berkembang seperti dirinya dengan kebebasan yang semakin bertambah dan luas. Sementara ruang kebebasan untuk perempuan di dalam keluarganya semakin diperkecil dan dipersempit.
Ia mungkin tidak akan meminta penjelasan mengenai hal itu kepada siapapun, sebab penjelasan itu sudah tersedia di dalam dirinya seperti nafas yang ia hembuskan setiap saat. Ia tumbuh menjadi perempuan dewasa dengan membawa tubuh yang dilingkupi berbagai larangan, bahkan dilarang untuk para anggota keluarganya. Ia tidak mungkin duduk dengan santai, kedua betisnya harus dirapatkan satu sama lain, bahkan saat ia tidur.
Ia tidak boleh terlalu lama berdiri di balkon atau teras rumah, tidak boleh lebih dari waktu menjemur cucian, atau menyiram tanaman di taman, atau membersihkan dirinya sendiri di kamar mandi. Keluar rumah harus dengan pengawasan, sehingga ia tidak mungkin keluar rumah setiap hari untuk bertemu dan bermain bersama teman-temannya. Ia harus segera kembali ke rumahnya, tidak boleh lebih dari pukul delapan malam. Segala sesuatu untuknya diawasi dan diatur sedemikian ketat: menit, detik, senti meter, dan bahkan mili meter.
Baca Juga: Perempuan dalam Pandangan Ibnu Taimiyah (1)
Kenapa begitu banyak pagar yang membatasi tubuh perempuan? Kenapa keluarga begitu takut dan peduli terhadap tubuh perempuan dibandingkan kepada diri perempuan itu sendiri? Apakah tubuh perempuan itu milik dirinya sendiri atau milik ayahnya, ibunya, dan seluruh anggota keluarganya?
Pertanyaan-pertanyaan seperti itu bisa saja muncul di benak perempuan. Ia takut melihat tubuhnya sendiri bahkan saat ia mandi. Ia begitu takut kehilangan sesuatu yang ada di antara kedua pangkal pahanya yang disebut “selaput darah keperawanan”. Ibu dan ayahnya sangat takut ia kehilangan sesuatu itu dibandingkan jika ia kehilangan kedua matanya, akalnya, atau bahkan nyawanya sendiri.
Siapakah pemilik tubuh perempuan? Apakah tubuh perempuan itu milik dirinya sendiri atau milik keluarganya? Apakah milik negara? Kenapa para pemuka agama tidak berbicara selain soal tubuh perempuan dan menganggapnya sebagai kehormatan dan kemuliaan (syaraf)? Kenapa hanya tubuh perempuan yang dibelenggu dengan banyak pagar?
Kenapa semua orang kemudian mengabaikannya setelah perempuan menikah kecuali suaminya yang menganggap dirinya sebagai pengampu atau pelaksana wasiat yang telah mendapatkan ‘surat wasiat’ dalam selembar kertas yang ditulis seorang tokoh agama untuk memiliki tubuh istrinya?
Kalau kita mendaku sebagai umat Muslim, mengikuti firman Allah di dalam Al-Qur`an, dan mendaku bahwa adat dan tradisi kita diambil dari Islam, sesungguhnya Allah tidak membeda-bedakan di dalam syariat-Nya antara tubuh perempuan dan tubuh laki-laki, sebagaimana juga tidak memberikan wasiat kepada siapapun untuk memiliki tubuh orang lain, dan sebagaimana kita melihat tubuh perempuan sama dengan tubuh laki-laki yang mengalami fase-fase pertumbuhan secara alamiah: bayi, anak kecil, pemuda/i, kemudian tua.
“Allah, Dialah yang menciptakan kamu dari keadaan lemah, kemudian Dia menjadikan [kamu] sesudah keadaan lemah itu menjadi kuat, kemudian Dia menjadikan [kamu] sesudah kuat itu lemah [kembali] dan beruban. Dia menciptakan apa yang dikehendaki-Nya dan Dialah yang Maha mengetahui lagi Mahakuasa,” [QS. al-Rum: 54].
Bahkan dari Al-Qur`an kita mengetahui bahwa derajat tubuh perempuan setingkat lebih tinggi dibandingkan tubuh laki-laki, karena ia adalah ‘tangan’ Allah di muka bumi yang bertugas menyempurnakan ciptaan-Nya. Makanya Allah memerintahkan manusia untuk berbakti kepada kedua orang tua, dan ibu menjadi fokus utama dalam keberbaktian itu.
“Dan Kami perintahkan kepada manusia [berbuat baik] kepada dua orang ibu-bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun,” [QS. Luqman: 14].
“Dan kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah [pula]. Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan,” [QS. al-Ahqaf: 15].
Bolehkah kita berpikir lebih jauh dan mengatakan bahwa tradisi yang mengharuskan laki-laki untuk menguasai tubuh perempuan lebih dikarenakan rasa iri laki-laki yang begitu mendalam terhadap perempuan, karena derajat tubuh perempuan setingkat lebih tinggi daripada tubuh laki-laki dan Allah menjadikannya sebagai sarana ketuhanan untuk mewujudkan keberlanjutan kehidupan manusia?
Masyarakat kita yang sangat patriarkis, yang terpenjara di dalam hukum-hukum patriarkal, mengklaim perlindungan terhadap tubuh perempuan sehingga meniadakan kemungkinan perempuan untuk diperkosa oleh laki-laki haus seks yang terus-menerus berusaha memburunya seperti hewan buruan yang lemah! Karenanya tubuh perempuan harus selalu dijaga, dilindungi, dan diatur dengan sangat ketat.
Tetapi Allah Swt. di dalam kitab-Nya justru menegaskan bahwa tidak ada wasiat dan penugasan bagi manusia manapun untuk menguasai manusia lainnya di hadapan-Nya, dan bahwa setiap manusia—baik perempuan maupun laki-laki—bertanggungjawab atas dirinya sendiri di hari perhitungan kelak di akhirat, sebagaimana tergambar di dalam ayat-ayat berikut:
“Dan Allah membuat istri Fir’aun perumpamaan bagi orang-orang yang beriman, ketika ia berkata, ‘Ya Tuhanku, bangunkanlah untukku sebuah rumah di sisi-Mu di dalam surga Firdaus, dan selamatkanlah aku dari Fir’aun dan perbuatannya, dan selamatkanlah aku dari kaum yang zhalim,” [QS. al-Tahrim: 11].
“Allah membuat istri Nuh dan istri Luth sebagai perumpamaan bagi orang-orang kafir. Keduanya berada di bawah pengawasan dua orang hamba yang saleh di antara hamba-hamba kami; lalu kedua istri itu berkhianat kepada suaminya [masing-masing]. Maka suaminya itu tiada dapat membantu mereka sedikitpun dari [siksa] Allah; dan dikatakan [kepada keduanya], ‘Masuklah ke dalam Jahannam bersama orang-orang yang masuk [jahannam],” [QS. al-Tahrim: 10].
Di dalam ayat-ayat tersebut Allah menjadikan perempuan—baik yang kafir maupun yang beriman—sebagai perumpamaan, bahwa mereka akan dihisab di hari perhitungan atas dasar perbuatan mereka sendiri, bukan atas dasar perbuatan suami-suami mereka. Ini menunjukkan bahwa perempuan adalah makhluk berakal dan punya kemampuan yang bisa mengurus dan mengatur urusan-urusannya sendiri. Allah memberikan kebebasan kepadanya untuk memilih menjadi kafir atau beriman, di mana masing-masing akan mendapatkan balasannya kelak di akhirat.