Dalam konteks ‘mendekati zina’, misalnya, kita lihat dalam melarangnya Allah tidak membedakan antara perempuan dan laki-laki. Allah memerintahkan larangan ‘mendekati zina’ kepada manusia secara umum.
“Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk,” [QS. al-Isra`: 32].
Ketika Allah menetapkan hukuman (hadd) bagi zina, kita lihat hukumannya hanya satu yang dijatuhkan secara adil kepada laki-laki dan perempuan, tidak membeda-bedakan, dan tidak melipatgandakannya bagi suatu jenis di atas jenis yang lain.
“Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk [menjalankan] agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah [pelaksanaan] hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman,” [QS. al-Nur: 2].
Tampak di dalam ayat tersebut Allah memperlakukan manusia yang berzina secara seimbang dan setara antara jenis laki-laki dan perempuan. Sebagaimana ketika memerintahkan untuk menjaga kemaluan (farj), Allah menjanjikan surga bagi orang yang menjaganya, baik laki-laki maupun perempuan. Karena kemaluan tidak hanya identik dengan perempuan, tetapi laki-laki dan perempuan. Menjaganya bukan hanya kewajiban perempuan, tetapi kewajiban laki-laki dan perempuan. Allah juga tidak menugaskan laki-laki untuk menjaga kemaluan perempuan.
“Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman, ‘Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang mereka perbuat,” [QS. al-Nur: 30].
“Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyuk, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut [nama] Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar,” [QS. al-Ahzab: 35].
Dari sekian banyak ayat Al-Qur`an yang menjadi pedoman bagi umat manusia di muka bumi, kita memahami bahwa perempuan bertanggungjawab sepenuhnya terhadap seluruh tindakan yang dilakukannya, termasuk tindakan-tindakan spesifik yang terkait dengan tubuhnya. Sehingga tidak akan ada seorang ayah yang akan dihisab karena putrinya berzina, selama ia mendidik atau menjalankan perannya sebagai ayah terhadap putrinya itu.
Tidak akan ada saudara laki-laki atau siapapun laki-laki di dalam keluarga yang dihisab atas dasar dosa yang dilakukan perempuan di dalam keluarga tersebut: perempuan akan berdiri di hadapan Tuhannya di hari perhitungan dengan dirinya sendiri membawa dosa-dosa yang dilakukannya, dan ia punya hak untuk diampuni maupun disanksi oleh Tuhannya.
Jadi, dari mana datangnya pandangan-pandangan yang terkristalisasi di dalam bingkai konsep ‘kehormatan keluarga’ yang seluruhnya mengurung tubuh perempuan? Kenapa bukan laki-laki saja yang menjadi ‘kehormatan’ bagi keluarga? Apakah karena laki-laki tidak mempunyai ‘selaput darah keperawanan’ maka ia boleh melakukan tindakan apapun terhadap tubuhnya semaunya sendiri?
Sebaliknya, apakah karena perempuan mempunyai ‘selaput darah keperawanan’ lalu menjadikannya terbelenggu dengan ikatan-ikatan kehormatan? Lantas bagaimana dengan 30% perempuan yang lahir tanpa ‘selaput darah keperawanan’? Bagaimana dengan hilangnya ‘selaput darah keperawanan’ akibat hubungan-hubungan rahasia atau akibat kecelakaan yang tak ada kaitannya dengan hubungan seksual?
Dan bagaimana pula dengan perempuan yang sesudah menikah lalu kehilangan ‘selaput darah keperawanannya’, apakah ini menunjukkan bahwa ia bebas melakukan aktivitas seksual tanpa ikatan pasca ia menikah?
Jadi, apakah sesungguhnya yang disebut kehormatan (syaraf)?!!
Di dalam al-Qur`an, di bagian manapun, tidak ada kata “syaraf” (kehormatan). Sementara di dalam sejumlah kamus, kata “syaraf” bermakna kehormatan dan kemuliaan dalam hal pekerjaan atau keturunan (nasab). Lalu dari manakah datangnya wasiat yang mengharuskan laki-laki berkuasa mengatur tubuh perempuan? Atas dasar hak apakah mereka boleh mengatur tubuh perempuan dengan dalih menjaga kehormatannya yang merupakan kehormatan keluarga? Apakah seluruh problem kehormatan di masyarakat bisa diselesaikan dengan mengatur tubuh perempuan?
Masyarakat patriarkis tidak benar-benar terdorong menjaga kehormatan profesi, atau kehormatan negara, atau kehormatan tanah airnya dibandingkan dengan keterdorongan mereka untuk menjaga kehormatan mereka sendiri dengan mengatur dan membatasi tubuh perempuan.
Islam merupakan agama yang memulai ajarannya dengan membebaskan perempuan dan hamba sahaya, serta mewujudkan kesetaraan paripurna di antara manusia. Tetapi karena kepentingan sekelompok orang yang tidak mau kehilangan kekuasaannya sehingga mereka kemudian menggunakan dalil-dalil agama untuk melindungi kepentingan mereka sendiri yang menuntut adanya penghambaan (perbudakan) dari perempuan agar menjaga urusan-urusan di dalam rumah tangga tanpa imbalan apapun.
Dalam hal ini mereka lalu membagi perempuan menjadi dua kelompok: pertama, kelompok istri/ibu yang terpenjara di dalam rumah untuk mendidik anak dan melayani suami. Kedua, kelompok pelacur yang menjadi pemuas nafsu seks kaum laki-laki secara bebas.
Kita lihat bahwa keberpegangan masyarakat patriarkis terhadap aturan-aturan patriarkal tidak akan membuat mereka terhormat, karena semua itu tidak bisa membantu kepentingan mereka di mata masyarakat dunia. Sementara memperlakukan perempuan sebagai makhluk yang setara justru akan membantu mereka menuju masa depan yang bebas dan terhormat, serta membersihkan mereka dari keyakinan-keyakinan sesat berupa penjajahan dan kebodohan yang mengungkung mereka selama berabad-abad.
Sudikah masyarakat kita saat ini bergerak mencapai kehormatan mereka yang hakiki dengan memberikan kebebasan kepada perempuan untuk menentukan sikapnya atas tubuhnya, dengan keyakinan bahwa ada Tuhan yang akan menghisab setiap amal perbuatan kita kelak di hari akhir?[]
Baca Juga: Hijab Bukan Kewajiban Islam