Islamina.id – Kita tidak terkejut dengan berbagai berita mengenai bom bunuh diri yang hampir setiap hari terjadi di dunia Islam. Kita hanya merasakan kesedihan dan kepedihan mendalam atas jatuhnya para para korban, terutama anak-anak dan perempuan. Tetapi berita-berita tersebut mungkin akan lebih mendapatkan perhatian jika pelaku bom bunuh diri itu adalah perempuan.
Meski serangan bom bunuh diri yang dilakukan perempuan mengalami peningkatan, kita tetap terkejut dan terusik ketika menyadari bahwa perempuan tidak lagi hanya sebagai korban ekstremisme dan terorisme, tetapi mereka juga telah terlibat dan aktif di dalamnya.
Jauh sebelum peristiwa penembakan Mabes Polri pekan lalu oleh Zakiyah Aini, pada tahun 2016 Densus 88 Antiteror Mabes Polri pernah menangkap seorang perempuan bernama Dian Yulia Novi yang diketahui telah mengirim paket berisi pakaian dan surat wasiat kepada orangtuanya di Cirebon bahwa ia akan melakukan aksi bom bunuh diri.
Baca juga: Kenapa Perempuan Jadi Teroris?
Penangkapan Dian sebagai terduga akan melakukan aksi teror menambah daftar perempuan yang terlibat aksi terorisme. Sebelumnya, Umi Delima, istri Santoso alias Abu Wardah, pimpinan teroris Mujahidin Indonesia Timur (MTI), ditangkap polisi pada akhir Juli 2016, di wilayah pegunungan Tambarana, Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah, tak jauh dari lokasi baku tembak yang menewaskan suaminya; Nurul Azmi Tibyani, divonis hukuman 4 tahun penjara dan denda Rp. 200 juta subsider 2 bulan penjara oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada 28 Januari 2013 karena melakukan tindak pidana terorisme; Ruqoyyah, istri gembong teroris Bom Natal dan Bom Bali I, Umar Patek, divonis hukuman 2 tahun dan 3 bulan penjara dalam kasus pemalsuan identitas akta otentik dalam persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Timur, pada 4 Januari 2012; Putri Munawaroh, istri almarhum Agus Susilo Adib, divonis 3 tahun penjara oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada 29 Juli 2010 karena dianggap membantu dan menyembunyikan gembong terorisme paling dicari di Indonesia, Noordin M Top; Munfiatun Munfiatun, divonis 3 tahun penjara oleh majelis Pengadilan Negeri Bangil, Pasuruan, Jawa Timur, pada pada 9 Juni 2005 karena menyembunyikan suaminya yang disangka sebagai pelaku terorisme di Indonesia.
Di Mesir, tahun 2000, beberapa perempuan berniqab melemparkan bom-bom dari atas jembatan al-Azhar ke arah para touris dan kerumunan manusia. Ketika polisi tiba di tempat itu, setiap orang dari perempuan-perempuan berniqab itu mengeluarkan pistol lalu menembakkannya tepat di kepala temannya, sehingga matilah mereka semua. Kenapa mereka melakukan itu kepada teman sendiri, kenapa tidak bunuh diri saja? Karena menurut pemahaman mereka tindakan bunuh diri adalah haram, sedangkan membunuh adalah halal di jalan Tuhan.
Di Pakistan, tahun 2019, seorang perempuan pelaku bom bunuh diri meledakkan dirinya yang menewaskan 8 orang dan melukai 26 lainnya dalam serangan di luar rumah sakit sipil. Gerakan “Taliban Pakistan” mengaku bertanggung jawab atas serangan itu. Menurut laporan media, perempuan yang melakukan serangan itu berusia 28 tahun dan mengenakan burqa. Pada 2018 di Tunisia, seorang perempuan berusia 30 tahun meledakkan dirinya di Jalan Bourguiba di pusat ibu kota, dan pihak berwenang Tunisia menuduh ISIS sebagai dalangnya.
Beberapa penelitian memperkirakan bahwa perempuan rata-rata mewakili antara 10 dan 15 persen kelompok teroris. Sejumlah laporan menunjukkan bahwa wilayah tempat perempuan bergabung dengan ISIS di Irak dan Suriah memiliki persentase yang berbeda-beda: negara-negara Asia Timur mencatat angka tertinggi 35% pejuang perempuan asing, diikuti oleh Eropa Timur (23%), kemudian Eropa Barat (17%), kemudian Amerika, Australia dan Selandia Baru (17%), Asia Tengah (12%), kemudian Timur Tengah dan Afrika Utara (6%), dan terakhir Sub-Sahara (kurang dari 1%).
Baca juga: Islam Melarang Terorisme, Apapun Alasannya
Di Nigeria, di mana kelompok teroris Boko Haram aktif di timur laut negara itu dan negara-negara tetangganya seperti Kamerun, Chad dan Niger dengan tujuan mendirikan cabang ISIS di Nigeria utara, eksploitasi perempuan oleh kelompok tersebut terus meningkat setelah menculik dan merekrut banyak perempuan untuk melakukan operasi bom bunuh diri. Kendati penculikan 276 siswi sekolah dari desa Chibok pada tahun 2014 memicu keributan internasional, dan itu merupakan salah satu dari banyak operasi yang dikaitkan dengan Boko Haram, di mana dapat dipastikan bahwa kelompok teroris tersebut mengumpulkan perempuan dan mendorong mereka melakukan operasi teroris, statistik menunjukkan bahwa lebih dari 50% pelaku bom bunuh diri Boko Haram dalam operasi yang dilakukan antara April 2011 dan Juni 2017 adalah perempuan.
Dari para siswi Chibok itu, hanya sedikit yang berhasil melarikan diri, sementara yang lain tetap bersama Boko Haram. Seorang jurnalis Jerman Wolfgang Bauer, di dalam bukunya “The Kidnappers”, yang mendokumentasikan pengakuan anak-anak gadis dan perempuan yang melarikan diri, menyebutkan bahwa di antara anak-anak gadis yang diculik itu terdapat sebagian yang benar-benar yakin—setelah diyakinkan oleh anggota Boko Haram—bahwa tujuan mereka adalah untuk membela agama, dan sebagian lainnya bahkan telah terlibat dalam serangan-serangan terorisme dengan meledakkan diri. Kebanyakan dari mereka memang meledakkan diri, baik tanpa kemauan atau tanpa mengetahui apa yang mereka bawa di balik pakaian mereka.
Lebih dari 120 anak gadis, sebagian di antaranya bahkan berusia 9 tahun, melakukan operasi bunuh diri di pasar dan transportasi umum, di mana masing-masing dari mereka diawasi dua orang laki-laki anggota organisasi, sehingga gadis-gadis itu tidak akan bisa melarikan diri. Ketika seorang anak gadis mendekati target yang diinginkan, salah satu dari laki-laki pengawas itu meledakkan si gadis melalui ponsel. Sedangkan para pelarian dari Boko Haram, masyarakat cenderung memandang mereka sebagai pengkhianat dan mata-mata, dan mereka yang diperkosa atau dinikahi paksa oleh para anggota Boko Haram ditolak sepenuhnya dan dipandang sebagai pelacur. Mereka menjadi sasaran kecurigaan bahkan dari keluarga mereka sendiri, kemudian tentara membawa mereka ke kamp-kamp “Antiteror” untuk diinterogasi, diancam, disiksa, dan dipukuli, dan mereka tidak diizinkan untuk dikunjungi.