Ibnu Rusyd dengan purifikasi pemikiran dalam segala bidang berusaha mengkorelasikan antara agama dan filsafat tanpa meleburkan keduanya. Mengkorelasikan keduanya tidak berarti peleburan antara dua pemikiran yang berbeda. Hal pertama yang dilakukan dalam proses pengkorelasian itu adalah memisahkan antara agama dengan filsafat dengan tujuan menyelamatkan agama dan filsafat itu sendiri. Keduanya bisa dibilang saudara sesusuan dari seorang ibu yang bernama kebenaran. Keduanya mempunyai kesamaan tujuan dengan perantara yang berbeda.
Adalah sesuatu yang tidak mungkin kebenaran yang ditemukan melalui pemikiran filsafat akan berseberangan dengan kebenaran wahyu Tuhan. Pertentangan tersebut hanya akan muncul ketika agama dan filsafat tidak mampu dipahami dengan baik, yaitu ketika retorika penyampaian kebenaran dalam agama tidak mampu dipahami secara tepat dengan melakukan takwil, juga ketika premis dalam filsafat tidak dapat dimengerti dengan benar; keduanya mempunyai kebenarannya masing-masing. Kebenaran yang ditemukan oleh filsafat dan agama hanya bisa diketahui melalui piranti-piranti yang dibangun oleh masing-masing agama dan filsafat itu sendiri.
Dalam membela filsafat, Ibnu Rusyd tidak menempuh jalur filsafat seperti Ibnu Sina, al-Kindi dan al-Farabi. Ibnu Rusyd lebih cenderung menempuh jalur fikih dalam menjustifikasi signifikansi pemikiran filsafat dalam kehidupan beragama. Ibnu Rusyd berusaha membuktikan bahwa filsafat bukan hanya boleh dipelajari, tetapi sudah menjadi bagian dari perintah agama.
Berpikir secara filosofis tidak lebih dari sekedar memikirkan alam semesta. Bahkan demi mencapai kesempurnaan iman, secara tegas Tuhan memerintahkan kepada hamba-Nya untuk memikirkan alam semesta. Selain itu, dalam al-Qur`an, tidak sedikit Tuhan menyebut orang-orang kafir dengan sebutan-sebutan tidak berakal atau tidak mampu mempertimbangkan ciptaan-Nya.
Apabila memikirkan alam semesta dengan segala isinya merupakan perintah Tuhan, sedang metode paling utama dalam memikirkan semua itu adalah argumentasi demonstratif, maka argumentasi demonstratif adalah bagian dari perintah Tuhan. Meski demikian, argumentasi demonstratif tidak mungkin digunakan secara langsung oleh manusia dengan sempurna. Ia memerlukan pembelajaran serius terhadap pernik-pernik di dalamnya, yang semuanya terangkum dalam ilmu logika.
Keilmuan manusia tidak mungkin terbentuk dari kehampaan. Salah satu karakteristik keilmuan adalah selalu mengalami komplikasi, di mana yang datang terakhir mengambil manfaat dari yang sebelumnya. Ketika ilmu logika tidak dikenal pada masa-masa pertama Islam, maka sudah menjadi kewajiban kita untuk mempelajari ilmu tersebut melalui para pendahulu kita, seagama maupun tidak.
Ilmu logika adalah sekumpulan sistem yang berfungsi sebagai perantara dalam memahami sesuatu. Perantara dapat diambil dari mana saja dan dari siapa saja. Tidak dikenalnya ilmu logika pada masa awal Islam bukanlah alasan yang tepat untuk melarangnya. Sama seperti ilmu usul fikih yang juga tidak dikenal pada masa itu.
Jadi, ketika ilmu usul fikih tidak dianggap sebagai bid’ah, ilmu logika juga tidak bisa dianggap bid’ah. Sehingga, hukum mempelajari ilmu logika yang identik dengan filsafat adalah wajib dalam Islam, apabila, tentu saja, tujuannya sesuai dengan anjuran syariat.
Tetapi, kewajiban mempelajari filsafat tidak ditujukan kepada semua orang (fardhu ‘ayn), hanya orang-orang tertentu yang boleh mempelajari ilmu tersebut (fardhu kifayah), yaitu mereka yang memiliki kecerdasan akal, berpegang kuat terhadap syariat (‘adalah syar’iyyah)—dengan kata lain, bersikap adil dalam menjalankan syariat—serta harus mempunyai kredibilitas intelektual yang mapan. Kecerdasan akal merupakan keharusan dalam mempelajari filsafat. Artinya ia mempunyai kesiapan akal dalam menerima pengetahuan filsafat.
Ketiga syarat tersebut merupakan mengejawantahan dari persyaratan melakukan persaksian dalam fikih. Orang yang mempelajari filsafat adalah orang yang sedang melakukan persaksian terhadap karya tulis para pendahulunya. Ia harus berlaku adil dalam persaksiannya sendiri; tidak menolak atau menerima sebuah pemikiran karena pengaruh hawa nafsu semata.