Kedua, golongan Islamisme menganggap bahwa orang Yahudi merupakan musuh besar bagi umat Islam yang berusaha sekuat tenaga menghancurkan Islam dari dalam (internal) maupun dari luar (eksternal).
Ketiga, Islamisme menghendaki demokratisasi dan mengikuti konstitusi yang ada terutama bila sebuah negara berdasarkan asas demokratis.
Keempat, gerakan islamisme mengevolusi jihad yang bersifat tradisional menjadi jihadisme atau mencoba menginterpretasikan kembali makna jihad.
Kelima, islamisme menghendaki adanya syariatisasi negara dengan cara menafsirkan kembali Al Qur’an dan Hadist demi mendukung ide politik yang mereka tawarkan.
Keenam, gerakan Islamisme mengajukan jawaban atas krisis yang dihadapi umat Islam dengan kembali kepada ajaran yang murni seperti yang telah dilakukan oleh Rasulullah dan sahabat.
Definisi ini bisa diseimbangkan dengan tawaran Asef Bayat (2005). Menurutnya, islamisme lebih pada aktivisme yang memperjuangkan suatu tujuan, baik yang dilakukan secara individual maupun kelompok. Bayat juga membantah jika islamisme merupakan suatu gerakan yang statis, tidak dinamis.
Menurutnya, itu kurang tepat. Karena gerakan islamisme bisa saja berubah sesuai dengan yang melatarinya. Soal simbol, bahasa, dan ideologis yang diperjuangkan bukanlah suatu permasalahan besar.
Ambil contoh, terjadinya islamisme terhadap Partai Renaisans (Ennahda) dan Ikhwanul Muslimin di Mesir yang berkembang semakin moderat. Begitu juga Hizbullah Lebanon dan PKS di Indonesia juga mengalami hal serupa.
Arab Saudi telah terlihat mengalami pergeseran menuju post-islamisme semakin jelas, dengan diakomodirkannya demokrasi, pluralisme, moderatisme, dan hak perempuan dalam berpolitik (Hasan 2017).