Tetapi, ungkapnya, ekstremisme agama tidak hanya terjadi di Indonesia. “Apakah di India juga Islam, tentu saja tidak, itu ekstremisme Hindu. Juga di Myanmar, ekstremisme agama Budha dibawah pimpinan Ashin Wiratu,” tuturnya.
Artinya, Islah memastikan, bahwa pola gerakan radikal selalu menunggangi agama pemeluk mayoritas di suatu negara dan bergerak dalam jalur agamanya. Kalau ingin menunggangi Islam, pasti melewati jalur keagamaan Islam, entah itu pesantren atau masjid. Begitu juga dengan Kristen, pasti melalui gereja atau sekolah Kristen.
Islam mengaku seluruh masyarakat untuk terbuka mengakui fakta itu. Buktinya banyak ceramah di masjid mengajarka bughat, bahkan pernah terungkap sebuah masjid di Banjarmasin jadi tempat merakit bom.
Ia mengkritik kelompok-kelompok penunggang Islam yang sedikit-sedikit menuding pemerintah Islamafobia. Yang ada malah masyarakat harusnya fobia terhadap gerakan-gerakan radikal yang menunggangi Islam.
“Tidak mungkin kita takut pada agama yang kita anut sendiri. justru kita takut pada penungang islam yang hanya ingin merusak dan mencemari nilai-nilai Islam itu sendiri,” tegas Islah.
Dalam hal ini, Islah memuji upaya pemerintah dalam menanggulangi penyebaran radikalisme dan ekstremisme, terutama yang mengatasnamakan agama merangkul tokoh agama dan mensterilkan rumah ibadah dari kelompok-kelompok tersebut. Ini yang membuat kelompok-kelompok itu selalu mencari celah untuk melakukan propaganda.
“Karena kalau kita berhasil menyadarkan masayrakat, mereka tidak laku. Mereka hanya numpang atas nama agama, membangun kekuasan atas nama agama. Mereka takut masyarakat pintar dan menjadi sadar sehinga gerakan mereka ditolak masyarakat. Itu yang takuti,” urainya.
Islah menegaskah, kelompok itu hanya penipu yang berjubah agama. Dan demi cita-cita politiknya mereka selalu membangun narasi seorang apa yang dilakukan selalu Islamofobia, radikal-radikul.
“Perjuangan tidak boleh berhenti. Intinya titik puas kita itu bukan pada bukan titik sadar masyarakat, tapi berhenti pada ketika mereka sudah betul-betul mati, gerakan mereka tidak bangkit lagi. Itu titik kinerja itu,” tandas Islah Bahrawi.