Dari sanalah Abduh menyinggung sejarah Islam saat berkembang pesat dibawakan oleh Nabi Muhammad. Menurutnya, pada saat itu, kaum muslimin hanya menggunakan sebagian dari ayat Al-Qur’an saja, tetapi bisa menaklukkan bangsa-bangsa besar yang menguasai banyak ilmu dan kekuatan.
Sebagai contoh, Islam bisa menaklukkan bangsa besar pada saat itu, Persi dan Rum. Serta bisa melakukan regulasi politik yang di berbagai wilayah yang sebelumnya berada di bawah cengkeraman kekuasaan Eropa.
Baca juga: Dakwah Santun Para Habaib yang Perlu Diteladani
Menurut Abduh, semua itu sebenarnya merupakan janji Allah yang dituliskan dalam Al-Qur’an, sebagaimana yang disebutkan dalam surah An-Nisa ayat 140, Ali Imran 39, dll. Menurut Abduh, janji-janji itu diberikah oleh Allah di tengah kondisi kekuaatan umat muslim yang sangat lemah dan miskin. Namun, janji-janji itu tetap diberikan untuk kejayaan umat muslim. Secara nalar hal ini tentu tidak logis.
Abduh melihat secara faktual bahwa yang dibawa Islam saat itu, telepas dari mukijzat Allah, karena memang misi penting yang disemarakkan adalah keadilan, pengangkatan hak martabat manusia, kemaslahatan, dll. Sedangkan kekuasaan yang dilawan pada saat itu adalah budaya anarkis, perpolitikan yang menindas, gemar dengan harta dan tahta yang berdampak pada ketimpangan sosial.
Baca juga: Pentingnya Meneladani Moralitas Habaib
Hal inilah yang dipahami oleh as-Syathibi dan seterusnya sampai Jasser Auda sebagai bentuk maqashid as-Syariah. Tujuan dari diterapkan syariat Islam itu sendiri, yang tujuan utamanya adalah menerapkan kemaslahatan, menghapus segala penindasan dan pengrusakan.
Pemahaman seperti ini seharusnya dikontekstualisasikan ajaran-ajarannya. Bukan atas dasar formalitas syariah tetapi berujung pada situasi yang tertolak dari esensi misi Islam itu sendiri.