Banyak ragam konten atraktif yang ditampilkan di setiap website dan media sosial. Banyak pula bermunculan ustadz dan tokoh agama baru yang menjadi populer di tengah masyarakat. Ruang maya kian terislamkan dengan konten dan simbol keagamaan.
Virtualisasi Islam ini tidak hanya diminati oleh para aktivis dan penggiat media Islam, tetapi media mainstream juga tidak ingin kalah saing dengan memasang menu dank anal khusus tentang keislaman. Beberapa media seperti detik, kompas, tribun, okezone, liputan6 dan lainnya seolah juga berlomba-lomba untuk menampilkan konten keislaman.
Sudah begitu meriah Islam dipentaskan secara virtual di ruang maya dengan ragam gaya, bentuk, corak dan ideologi yang saling berkontestasi. Hadirnya Islam virtual telah merubah cara konsumsi pengetahuan keagamaan khususnya generasi muda dengan mengandalkan kebutuhan cepat dan mudah. Konsumsi pengetahuan keagamaan melalui media internet ini seiring sejalan dengan bangkitnya Islam populer di tengah masyarakat.
Kontestasi pemikiran tidak lagi berada dalam level karya buku, ceramah keagamaan dan khutbah, tetapi merambah melalui media digital. Hadirnya kecanggihan informasi melalui internet semakin mempercepat proses resonansi pertarungan narasi tersebut dalam ruang yang lebih luas. Dampak lain yang muncul dari perkembangan fenomena Islam virtual ini adalah pergeseran otoritas keagamaan dengan hadirnya sumber alternatif online.
Gary R Bunt (2003) menggunakan istilah Islamic Authority Online dengan kemunculan fatwa-fatwa online secara virtual dengan penyebaran ajaran dan ideologi yang menyokongnya. Otoritas keagamaan online menjadi kekuatan alternatif yang bisa merubah dan menantang pemahaman dan otoritas keagamaan konvensional.
Senada dengan Bunt, Campbell dalam When Religion Meets New Media (2010) melihat hadirnya Islam virtual/siber telah memunculkan partarungan otoritas keagamaan dan narasi antara mereka yang dianggap ancaman dan status quo. Dunia maya telah memaksa batas kehidupan dan wacana keagaman secara luas dalam bentuk monitoring dan kontrol sosial. Pertarungan otoritas pemaknaan keagamaan dalam bentuk narasi ortodoksi, konservatif, moderat dan menjadi salah satu yang tidak bisa dihindarkan dalam proses Islam dan media baru ini.
Pertanyaan selanjutnya, sejauhmana Islam virtual mewakili Islam di nusantara? Apakah Islam virtual ini sebagai bagian dari Islam yang kian dalam di tengah masyarakat atau justru Islam yang semakin dangkal di tengah masyarakat?