Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo pada tahun 2017 yang lalu meresmikan tugu titik nol pusat peradaban Islam Nusantara di pantai Barus, kelurahan pasar batu, Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatera Utara. Barus sebuah kecamatan terletak di pantai barat kabupaten tapanuli tengah sumatera utara.Barus pernah tercatat dalam memoar anasir-anasir asing lebih dari seribu tahun silam.Para pedagang timur tengah mengenalkan berbagai budaya baru ke masyarakat di tepi pantai. Salah satu jejak peninggalan islam adalah bentuk nisan makam india, arab, aceh, jawa dan barus yang khas. Komplek makam di Mahligai mempunyai ciri pada ragam variasi corak dan bentuk nisan. Variasi dalam bentuk nisan menunjukkan daerah asal dan kebudayaan yang mempengaruhi pembuatnya. Namun, ini masih menjadi perdebatan antar sejarawan mengenai penetapan awal peradaban Islam masuk ke Nusantara.
Barus merupakan daerah yang kaya dengan tinggalan budaya keagamaan. Salah satu tinggalan budaya yang sampai saat ini dapat disaksikan adalah adanya makam-makam kuno yang menarik untuk diteliti secara terus-menerus. Barus bahkan dikenal dengan kota awliyā’ (jamak dari wali). Dari makam-makam kuno, terdapat inskripsi-inskripsi yang menunjukkan sebuah peradaban masa lalu. Tulisan atau inskripsi yang ada, bisa dijadikan sebagai bukti sejarah masuknya Islam di suatu tempat tertentu. Informasi dan kesahihan bahwa wilayah ini telah tersentuh dengan peradaban yang maju, terbukti di masa lalu dengan adanya jalur pelabuhan internasional dan sumber daya alam yang melimpah seperti kapur barus dan menyan. Kekayaan itu menambah bukti dimana perdagangan Sumatera dengan Cina setidaknya berawal pada abad ke-7, dan pada era tertentu dicari oleh para pedagang dari India dan Timur Tengah.
Informasi adanya kunjungan ke Barus secara langsung oleh pedagang Cina dan India yang mencari damar untuk diangkut ke pelabuhan-pelabuhan di Sumatera Utara dan Timur, masih belum diketahui secara pasti. Namun nama Barus dalam catatan Cina masa lampau dihubungkan dengan damar dan kapur barus yang paling tinggi mutunya dan paling murni sifatnya. Sekitar abad ke-10 Masehi, ada bukti yang menimbulkan kesan bahwa pedagang dari Timur Tengah memang langsung mendatangi pantai Barat Sumatera untuk mencari kedua damar tersebut (Drakard, 2003). Kemudian Barus dikenal oleh bangsa Arab dengan nama Fansur (Simanullang, 2007).
Menurut sejarah, kota ini pernah menjadi pusat perniagaan dan pusat peradaban sekitar abad 1 sampai 17 Masehi yang terkenal dengan komoditas kapur barusnya. Selain itu, daerah ini rupanya menjadi salah satu tujuan wisata bagi para peneliti arkeologi Islam. Penduduk Barus yang menghuni kawasan pesisir sebagian besar memeluk agama Islam. Mereka sehari-hari bekerja sebagai nelayan dan pedagang. Sedangkan warga non-muslim menempati kawasan tengah Kota Barus. Di Kota ini pula terdapat beberapa makam yang diindikasi sebagai bukti awal masuknya Islam di Nusantara, di antaranya makam Papan Tinggi dan makam Mahligai.
Makam Mahligai didirikan oleh Tuan Syekh Siddiq yang jenazahnya juga dimakamkan di kompleks tersebut. Menurut juru makam, berdasarkan sumber sejarah serta pelacakan dari tulisan pada batu nisan makam, terdapat batu nisan seorang Muslim bernama Tuan Syekh Rukunuddin. Di batu nisan juga tertulis perihal wafatnya di malam bulan Safar tanggal 13, tahun 48 Hijriyah, pada abad 7 Masehi, dalam usia 102 Tahun, 2 Bulan, 10 Hari. Berdasarkan tulisan tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa Islam diduga masuk ke Barus sekitar abad ke 7 Masehi. Saat ini, Barus dijuluki sebagai pintu gerbang masuknya Islam di Nusantara setelah pada 2017 lalu, Presiden Joko Widodo meresmikan Tugu Titik Nol Pusat Peradaban Islam Nusantara. Barus pun mulai berkembang seiring pembangunan infrastruktur di kawasan tersebut.
Sebelum Islam lahir, sebagaimana dinyatakan oleh Van Leur, bahwa saudagar Arab dan Persia telah menelusuri jalur perdagangan menuju pelabuhan-pelabuhan Cina, dan pada abad ke-4 Masehi mereka sudah menetap di Kanton. Tahun 618 Masehi dan 626 Masehi sudah ada pemukiman pedagang Arab, dan tahun 674 Masehi koloni Arab sudah ada di pesisir Barat Sumatera di bawah kontrol orang Islam sendiri (Van Leur, 1983).
Ricklefs memastikan bahwa Islam sudah hadir di Asia Tenggara sejak awal zaman Islam. Utusan-utusan Muslim Tanah Arab, sejak masa khalifah ketiga, Utsman ibn Affan (23-35 H/644 –656 M), mulai tiba di istana Cina. Pada abad ke-9 Masehi, setidaknya sudah ada ribuan pedagang Muslim di Kanton, Cina. Relasi-relasi antara Cina dan dunia Islam itu terpelihara terutama lewat jalur laut melalui perairan Indonesia. Oleh karena itu, tidak aneh bila orang-orang Islam tampak memainkan peran penting dalam urusan-urusan perdagangan dalam skala besar di Sumatera yang beragama Budha. Antara tahun 904 Masehi dan pertengahan abad 12 Masehi, utusan-utusan dari kerajaan Sriwijaya ke istana Cina memiliki nama Arab. Tahun 1282 Masehi, raja Samudra di Sumatera bagian Utara juga mengirim dua orang utusan yang bernama Arab ke Cina (Ricklefs, 2007).
Pro Kontra Barus Sebagai Awal Peradaban Islam
Pada tahun 2017, di Universitas Islam Negeri (UIN) ar-Raniry Aceh, telah diadakan seminar nasional dengan tema “Awal Masuknya Islam ke Nusantara”. Seminar ini menghadirkan beberapa narasumber pakar sejarah, diantaranya yaitu Azyumardi Azra, Farid Wajdi, Dan arkeolog Husaini Ibrahim dari Universitas Syiah (UNSYIAH) Aceh. Seminar yang membahas teori sejarah awal peradaban Islam ini tentunya mempunyai pendapat dari masing-masing narasumber.
Azra berpendapat awal titik mula Islam datang adalah di Samudera Pasai. Kemudian pendapat lain dari Farid Wajdi yang mengatakan Islam awal mula hadir di Peureulak (Kabupaten Aceh Timur), karena mengacu Seminar Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Aceh dan Nusantara di Aceh Timur tahun 1980 (Ali Hasjmy, 1980). Dari dua sejarawan tersebut saja sudah menggambarkan ada dua teori berbeda.