Meskipun hanya sembilan orang, perdebatan sengit berhari-hari tak menemukan titik temu. Karena kubu yang menginginkan Indonesia menjadi negara Islam, buntut dari Kongres Jamiatul Khair 1913 di Surakarta sama kuatnya dengan yang menginginkan Indonesia nasionalis sekuler. Sehingga sidang discoring, dan dilanjutkan di akhir bulan Mei.
Pada sidang BPUPKI pada tanggal 31 Mei 1945. Kiai Haji Wahid Hasyim meminta waktu untuk berpidato menyampaikan uraian tentang piagam (shahifah) Madinah. Piagam Madinah yang dideklarasikan Rasul Saw ini terdiri atas empat bagian. Dalam bagian pertama ini, dinyatakan semua pertikaian yang tidak terselesaikan dengan musyawarah akan diambil pemimpin sidang berdasarkan banyak pertimbangan.
Bagian kedua, mengatur hubungan antara umat Islam dan golongan non muslimsecara lebih teperinci. Hal ini bertujuan untuk menjaga stabilitas masyarakat Madinah yang bersatu. Adapun bagian ketiga terkait dengan Perjanjian Hudaibiyah, yaitu tentang hak dan kewajiban warga negara, termasuk bebas menjalankan keyakinannya tanpa paksaan (lakum dinukum waliyadin). Bahkan, siapapun yang menetap di pinggiran negara Madinah itu boleh menuntut hak bertetangga.
Setelah piagam Madinah dibacakan, Soepomo berdiri dan mengatakan bahwa “Indonesia tidak perlu menjadi negara Islam, tetapi cukup menjadi negara yang memakai dasar moral yang luhur yang dianjurkan oleh agama Islam.” Sambil terharu dan menangis Bung Karno selalu pemimpin sidang memutuskan Indonesia adalah negara nasional-relegius. Kemudian dibuatlah Piagam Jakarta atas usulan Bung Yamin, sebagai jalan tengah dan segara dibacakan sebagai declaration of independent.
Piagam ini mengandung lima sila yang menjadi bagian dari ideologi Pancasila, dengan sila pertama yang mencantumkam frase “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam.” Tetapi A. A Maramis sebagai wakil non dan Indonesia bagian Timur mempersoalkan kata syariat Islam.
Sidang kembali discorsing dan kembali dilanjutkan secara maraton yang berlangsung selama sepekan, mulai 10-16 Juli 1945. Pada kesempatan itu Kiai Wahid Hasyim memberi pendapatnya, dengan ditambah frase, “bagi pemeluknya. Tapi Kiai Kahar Muzakkar protes, tidak boleh ditambah, begitu juga wakil dari Muhammadiyah yang dipanggil Bung Karno, yaitu Ki Bagus Kusuma keberatan dengan tambahan frase, bagi pemeluknya.
Belum selesai soal tambahan frase ini Mohammad Hatta yang pada malam sebelumnya menerima kabar dari seorang perwira angkatan laut Jepang bahwa kelompok nasionalis dari Indonesia Timur sudah dipastikan lebih memilih mendirikan negara sendiri jika kata syariat islam tersebut tidak dihapus, dan memberi jalan tengah mengusulkan Ketuhanan yang Maha Kuasa dan menghapus tujuh kata tambahan.
Tetapi Ki Bagus Kusuma tetap kekeh dengan pendapatnya. Kemudian, Bung Karno meminta Kasman Singodimedjo sebagai karibnya untuk memahamkannya. Dari lobi yang dilakukan Kasman, Ki Bagus akhirnya melunak dan kemudian membuat keputusan penting. Yakni, menyetujui penghapusan tujuh kata-kata bernapas islami dalam Piagam Jakarta itu demi keutuhan dan persatuan bangsa. Namun, dengan syarat ada penambahan frasa ‘Yang Maha Esa’ setelah Ketuhanan.
Kiai Wahid Hasyim setuju dengan usulan Ki Bagus Kusuma, penggantian kalimat dari Maha Kuasa ke Maha Esa. Karena Esa mengandung nilai-nilai ketauhidan yang itu kedudukannya lebih fundamental dari menjalankan syariah. Bung Karno menyetujui dan perubahan yang sangat penting itu akhirnya terjadi pada 18 Agustus 1945.
Wallahu’alam bishawab
Kasongan, 16 Agustus 2022
*Artikel ini juga diposting di www.rumahkata.id