Musik merupakan salah satu tanda keindahan di alam semesta ini. Dan jika Tuhan Yang Maha Agung menciptakan alam semesta yang luas ini dan memperkayanya dengan tanda-tanda keindahan yang tak terhitung jumlahnya, maka seni yang diatur oleh selera dan sastra adalah sarana untuk merasakan keindahan yang melimpah itu pada cakrawala alam semesta yang luas ini.
Faktanya, orang akan terkejut—berdasarkan fitrah kemanusiaannya yang cenderung menikmati keindahan yang dengannya jiwa menemukan kenyamanan dan ketakjuban dalam melihat dan mendengarnya—pada pendapat orang-orang fanatik yang ingin mengekang dan membelenggu fitrah kemanusiaan yang sangat menyukai keindahan, bahkan mempersempit makna teks-teks agama yang sejatinya hadir untuk mengatur insting kemanusiaan bukan untuk mengekang apalagi menghilangkannya.
Sebagian orang melancarkan kampanye dan perdebatan sengit untuk memberantas fenomena nyanyian dan musik. Bahkan ada sebuah video yang memperlihat seseorang yang mendaku beriman kepada Tuhan menghancurkan alat musik, seolah-olah itu adalah penyebab kemunduran Islam, atau seolah-olah itu adalah salah satu sebab yang mengubah umat Muslim sebagai “umat terbaik” menjadi “umat sampah”. Sebagian mereka melarang nyanyian dan musik dengan mengutip ayat al-Qur`an,
“Dan di antara manusia [ada] orang yang mempergunakan lahw al-hadîts (hiburan berupa perkataan) untuk menyesatkan [manusia] dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan. Mereka itu akan memperoleh azab yang menghinakan,” [QS. Luqman: 6].
“Lahw” atau hiburan berada dalam kerangka kegiatan kemanusiaan yang diperbolehkan, yaitu segala sesuatu yang dilakukan seseorang dan mengalihkan perhatiannya dari yang lain. Di dalam al-Qur`an kata “lahw” (hiburan) disebutkan bersamaan dengan aktivitas kemanusiaan yang lain. Allah berfirman:
“Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum’at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung. Dan apabila mereka melihat perniagaan atau permainan, mereka bubar untuk menuju kepadanya dan mereka tinggalkan kamu sedang berdiri (berkhotbah). Katakanlah, ‘Apa yang di sisi Allah lebih baik daripada hiburan (lahw) dan perniagaan’, dan Allah Sebaik-baik Pemberi rizki,” [QS. al-Jumu’ah: 9 – 11].
Jual-beli tidak haram jika tidak membuat kita melalaikan kewajiban seperti shalat. Hiburan juga tidak haram jika tidak membuat kita melalaikan kewajiban.
Di dalam karya monumentalnya, “Ihyâ` ‘Ulûm al-Dîn”, Imam al-Ghazali berkata:
Asal suara adalah kerongkongan hewan (hayawânât). Dan sesungguhnya membuat serunai berdasarkan suara kerongkongan, itu adalah penyerupaan suara yang dibuat manusia (shun’ah) dengan suara yang diciptakan oleh Allah (khilqah). Dan tiada satupun bentuk yang dibuat oleh para pembuat, dengan pembuatannya, melainkan telah ada contohnya pada makhluk (alam) yang dipilih oleh Allah Ta’ala dengan menciptakannya. Itulah yang mereka pelajari, dan contoh itulah yang mereka ikuti.
Maka mendengar suara-suara tersebut mustahil diharamkan, karena bagus dan keseimbangannya. Tidak ada jalan untuk mengharamkan suara burung murai dan burung-burung yang lain. Dan tidak ada bedanya suatu kerongkongan dengan kerongkongan yang lain dan antara benda padat dan makhluk hidup.
Maka seharusnya diqiyaskan kepada suara burung murai, suara-suara yang keluar dari tubuh-tubuh lainnya dengan usaha manusia. Seperti yang keluar dari kerongkongan atau dari seruling, tambur, genderang, dan lainnya.