Pendekatan keamanan (security approach) dalam kebijakan kontra terorisme, tentu sangat urgen untuk mencegah jatuhnya korban, menjamin rasa aman kepada masyarakat. Namun, upaya memberantas kejahatan terorisme perlu optimalisasi pendekatan kultural (cultural approach). Salah satunya melalui deradikalisasi untuk melenyapkan ideologi radikal yang mendasari tindakan terorisme.
Di sejumlah wilayah Indonesia belakangan ini, Densus 88 Antiteror Polri menangkap puluhan terduga teroris yang berafiliasi ke jaringan Negara Islam Irak dan Syam (ISIS), Jamaah Islamiyah (JI), Jamaah Ansharut Daulah (JAD), dan Negara Islam Indonesia (NII). Secara kategoris, ada tipe terorisme berbasis agama dan non-agama. Orang radikal ataupun ekstrem belum tentu berujung teroris, namun gejalanya tetap diwaspadai, sebab selangkah lagi menjadi teroris. Maka, ideologi kelompok radikal-ekstrem itu mesti dipenetrasi.
Mark Juergensmeyer (2017) dalam bukunya Terror in the Mind of God, menganalisis secara rinci kasus terorisme di berbagai negara yang terkait dengan hampir semua agama: Kristen, Islam, Yahudi, Hindu, Buddha, Shinto dan sebagainya. Dalam konteks itulah, berbagai alternatif deradikalisasi beserta agenda programatiknya perlu dieksplorasi secara komprehensif.
Pendekatan Kultural
Pendekatan keamanan (security approach) dalam kebijakan kontra terorisme, tentu sangat urgen untuk mencegah jatuhnya korban, menjamin rasa aman kepada masyarakat. Namun, upaya memberantas kejahatan terorisme perlu optimalisasi pendekatan kultural (cultural approach). Salah satunya melalui deradikalisasi untuk melenyapkan ideologi radikal yang mendasari tindakan terorisme.
Ikhtiar melunakkan otak radikal, mengonter ekstremisme kekerasan (countering violent extremism), seyogianya melewati tahapan yang terukur. Mereka kadung terjerat dalam cara pandang yang mengabaikan HAM, demokrasi dan kebinekaan. Agama dibajak sedemikian rupa yang berujung pada mal-praktik jihad.
Karena itu, negara harus tetap memberdayakan organisasi kemasyarakatan moderat sebagai mitra, sembari melakukan intervensi pemikiran di kalangan radikal. Setidak-tidaknya, kaum moderat mengamplifikasi narasi pembanding. Di sisi lain, nuansa kesyahduan di dalam tradisi tarekat layak dilirik guna menyentuh qalbu. Sebuah ekosistem religiusitas yang mengedepankan cinta (hubb).
Kontra Terorisme Melalui Tarekat
Dalam khazanah pemikiran Islam, tarekat dimaknai sebagai jalan penghayatan agama yang berdimensi esoterik untuk membentuk pribadi yang ihsan (baik). Tarekat menampilkan wajah agama yang fokus pada penjernihan akhlak, disertai amalan khas di bawah bimbingan seorang mursyid (guru sufi).
Secara praktis, tarekat adalah pelembagaan dari ideologi tasawuf yang diaktori para sufi yang beragam. Nicolaas H. Biegman (2009) dalam bukunya Living Sufism: Rituals in the Middle East and the Balkans, mengurai keragaman sufisme tampak pada banyaknya kelompok tarekat. Berbagai kelompok tarekat yang telah menyejarah dan melembaga di Indonesia, antara lain Syattariyah, Syadziliyah, Khalwatiyah, Qodiriyah wa Naqsyabandiyah, dan sebagainya.
Ilmu tasawuf merupakan sokoguru peradaban Islam yang prospektif untuk meredam laju kebangkitan ekstremisme. Kelindan sufi dan filsafat dalam formula tasawuf falsafi memantulkan kekuatan tersendiri. Percikan tasawuf falsafi yang menghargai akal sehat sekaligus pengetahuan intuitif sangat relevan sebagai landasan berpikir. Akalnya merdeka. Hatinya tenang.
Dalam interaksi dan tindakan komunikatif kaum sufi, khazanah humor mengandung kekayaan religio-kultur yang unik. Koleksi cerita lucu penuh makna dari Nasrudin Hoja hingga Gus Dur layak dirayakan kembali. Dalam derajat tertentu, sulit bagi kaum humoris ditembus oleh virus-virus radikal dan ekstrem.
Sebagai tatanan nilai, bertarekat adalah jihad spiritual bagaimana meredam amarah, dendam, dan kesombongan. Itulah tasawuf-akhlaqi, sebagaimana tergambar dalam karangan Jalaluddin Rakhmat Dahulukan Akhlak Di Atas Fiqih. Konsep akhlak sufistik dan hidup bahagia juga sudah diwariskan oleh Buya Hamka dalam Tasawuf Modern. Spiritualitas kebahagiaan itu saling menopang dengan sufi sastrawangi ala Jalaluddin Rumi hingga Emha Ainun Najib. Sejuk dan menyejukkan tutur katanya. Bijak pula sikap dan perilakunya.