Sementara tasawuf amali, kaum tarekat fokus mengamalkan ritus dzikirullah, mendendangkan nyanyian dan tarian-tarian cinta. Kedalaman etik dan mistikal memancarkan energi positif guna merajut kasih lintas iman, meminjam istilah Ricklefs: sintesis-mistik. Dalam bingkai mistisisme Islam, para sufi dalam fase tertentu bisa melintasi batas agama (passing over). Walhasil, terwujudnya perilaku inklusif dan toleran.
Signifikansi Sufi
Sejarah telah mencatat bahwa awal persebaran agama Islam di Indonesia dibawa oleh para ulama sufi. Mereka lebih mengedepankan budi pekerti dan akhlakul karimah, sebagaimana karakteristik dakwah Walisongo di bumi nusantara. Kaum sufi tidak gagap terhadap kearifan lokal, melainkan turut bersenyawa. Perkara itu sungguh berbeda dengan model beragama kaum ekstremis yang alergi terhadap pluralisme dan tradisi lokal. Nalar sufisme begitu signifikan untuk membentuk pribadi dan komunitas yang menerima kemajemukan di negeri yang multi-kultur ini.
Signifikansi sufi juga terletak pada kredo dan kode: jangan merasa suci, apalagi menghina sesama manusia. Tidak ada juga kamus mengkafirkan orang lain di kalangan sufi. Artinya, sufisme tampil sebagai anti tesis ekstremisme. Bagaimana menerjemahkan tarekat sufi ke dalam praksis deradikalisasi? Ada tiga langkah konkret dalam upaya memanfaatkan tarekat sufi sebagai wahana deradikalisasi, yakni langkah preventif (pencegahan), kuratif (penyembuhan), dan rehabilitatif (pemulihan).
Di tengah gejala intoleran, corak keislaman berkarakter sufistik dapat dipromosikan kepada umat Islam secara meluas, baik online maupun offline. Langkah ini untuk mencegah umat dari invasi pemikiran ekstrem yang beredar di ruang publik. Pada saat yang sama, lembaga tarekat berperan di jagad spiritual, membimbing batin masyarakat agar kesadaran semesta mengkristal, terbang melampaui identitas partikular.
Dalam relasinya dengan negara, kaum sufi cenderung akomodatif dengan pemerintah. Kultur tarekat memperkaya agenda pencegahan dari anasir ideologi transnasional pro-kekerasan. Dalam skala tertentu, kelompok tarekat pun bersikap kritis. Hanya saja, kawula sufi menghindari jalan kekerasan, tapi kritik yang berciri artikulatif, elegan, dan persuasif.
Itulah yang menjelaskan sosok seperti Habib Luthfi bin Ali bin Yahya, Ra’is ‘Am Jam’iyah Ahlu Thariqah al Mu’tabarah an Nahdiyah (JATMAN), juga Ketua Forum Sufi Internasional, kemudian didaulat sebagai Anggota Dewan Pertimbangan Presiden Periode 2019 – 2024. Sedangkan kaum ekstremis doyan berbuat rusuh hingga melawan rezim pemerintahan yang sah. Bahkan faksi garis keras acap merongrong ideologi dasar negara sebagaimana jejak rekam ISIS, JI, JAD, NII.
Dalam aspek kuratif, kaum ekstremis bisa disembuhkan dengan transformasi kesadaran baru (epiphany). Masa lalunya yang kelam diganti dengan cakrawala baru, meninggalkan sisi gelap, lalu hijrah menuju cahaya sufistik. Maka terjadilah pergeseran haluan dari hidup kaku, tegang dan beringas menjadi tenang, simpatik dan ceria.
Selanjutnya, langkah rehabilitatif akan lebih relevan diterapkan kepada narapidana terorisme (napiter). Caranya, napiter dimasukkan ke dalam rumah ibadah kaum sufi. Mereka dibaiat, bukan hanya berikrar setia pada Merah Putih, tapi juga baiat tarekat sebagai cermin ketaatan murid kepada sang mursyid yang kharismatik. Harapannya, napiter yang terkarantina itu kembali pulih.
Hati murid dan hati gurunya saling terhubung. Atmosfir spiritual sufi kemudian memengaruhi perilaku murid tarekat untuk merawat keadaban dan cinta kasih. Muaranya, watak garis keras berubah menjadi garis lunak. Dengan demikian, sufi, tasawuf dan tarekat menjadi mutiara untuk menghadirkan masyarakat Indonesia yang penuh suka cita dan cinta damai.
Baca Juga: NII Akar Munculnya Gerakan Teror di Indonesia