Pengantar
Dalam beberapa tahun terakhir ini, diskusi mengenai pentingnya perwujudan toleransi dan kerukunan hidup beragama di Indonesia semakin kencang digelar. Terus terang, perbincangan-perbincangan semacam itu semakin penting, bersamaan dengan gejala semakin mengentalnya kembali sentimen-sentimen keagamaan di pelbagai kawasan Indonesia. Kondisi ini bagaimanapun telah menantang para teolog kita untuk merumuskan “teologi toleran”, sehingga hubungan antar umat beragama yang lebih baik akan segera hadir bukan fiy adzhan, tetapi fiy a’yan Indonesia.
Persoalannya, ketegangan hubungan antara kelompok agama tertentu dengan yang lain di Indonesia tidak ditentukan oleh satu variabel saja saja, melainkan hampir selalu muncul dengan beragam faktor, mulai dari faktor sosial, ekonomi hingga politik. Namun, dengan keterbatasan space, tulisan pendek ini akan mengerucut pada pokok soal; bagaimana pandangan Islam tentang toleransi dalam beragama dan bagaimana pula jalan pendaratannya di Indonesia?
Toleransi Beragama dalam Islam
Toleransi yang dalam bahasa Arab-nya disebut dengan tasamuh sesungguhnya merupakan salah satu dari sekian ajaran inti dalam Islam, sejajar dengan ajaran fundamental yang lain seperti kasih (rahmah), kebijaksanaan (hikmah), kemaslahatan universal (mashlahah ‘ammah), keadilan (‘adl). Beberapa prinsip ajaran agama tersebut merupakan sesuatu–meminjam bahasa ushul fikih–yang qath’iyyat dan kulliyat. Dengan demikian, sebagai ajaran yang qath’iy, prinsip-prinsip tersebut tidak bisa dianulir dengan ajaran apapun. Begitu juga, sebagai ajaran kulliy, yaitu prinsip-prinsip ajaran universal tersebut bersifat lintas ruang dan waktu (shalihatun li kulli zaman wa makan). Pendeknya, ajaran-ajaran itu bersifat trans-historis, trans-ideologis, bahkan trans-keyakinan-agama.
Adalah merupakan kewajiban mutlak dari setiap umat Islam untuk berseru dan berdakwah tentang prinsip-prinsp ajaran Islam di atas. (Kata Nabi, ballighu ‘anni walaw ayatan). Sebagai suatu ajaran yang amat mendasar, ajaran toleransi telah banyak ditegaskan di dalam al-Qur`an. Dengan demikian, perbedaan agama mestinya bukanlah penghalang untuk merajut tali persaudaraan dan toleransi antar-sesama manusia yang berlainan agama. Jangan lupa bahwa Tuhan menciptakan planet bumi tidak untuk satu golongan agama tertentu perse. Dengan menurunkan bermacam-macam agama tidak berarti bahwa Tuhan membenarkan diskriminasi atas manusia, tetapi agar saling mengakui eksistensi masing-masing (lita’rafu) dan berlomba untuk berbuat kebaikan buat sesama (fastabiqu al-khayrat). Nabi Muhammad SAW hadir ke bumi bukan untuk membela satu golongan,etnis, dan agama tertentu saja, melainkan sebagai rahmat li al-‘alamin.
Walhasil, sungguh tidak alasan bagi seorang Muslim untuk tidak menenggang dan bersikap toleran kepada orang lain hanya karena ia bukan penganut agama Islam. Pembiaran terhadap orang lain (al-akhar) untuk tetap memeluk agama non-Islam adalah bagian dari perintah Islam sendiri. Dengan perkataan lain, pemaksaan dalam perkara agama–di samping bertentangan secara diametral dengan harkat dan martabat manusia sebagai makhluk yang merdeka–juga berlawanan dengan ajaran Islam sendiri. Allah berfirman (QS, al-Baqarah/2:256); “Tidak boleh ada paksaan dalam agama. Sungguh telah nyata (berbeda) kebenaran dan kesesatan”. Bahkan, Muhammad pernah mendapat teguran dari Tuhan, yang terekam dalam QS, Yunus/10:99, Maka apakah kamu (Muhammad) akan memaksa manusia semua hingga mereka menjadi orang-orang yang beriman semua.
Menjadi hak setiap orang untuk mempercayai bahwa agamanyalah yang benar. Namun, dalam waktu yang bersamaan, yang bersangkutan juga harus menyadari dan menghormati jika orang lain berpikiran serupa. Dengan demikian, persoalan keyakinan merupakan perkara pribadi dari setiap orang. Tidaklah banyak guna memaksa seseorang untuk memeluk suatu agama, tanpa dibarengi dengan kepercayaan dan keyakinan. Memeluk agama karena paksaan dan intimidasi merupakan kepemulekan agama yang pura-pura, tidak serius, “boong”. Tidak dibolehkannya memaksakan suatu agama, karena manusia dipandang telah memiliki kemampuan untuk membedakan dan memilih sendiri agama yang dipercayai dan diyakini dapat mengantarkan dirinya menuju gerbang kebahagiaan baik di dunia maupun di akhirat (sa’adah al-‘ajil wa al-ajil). Tuhan sendiri berfirman fa man sya`a falyu`min wa man sya`a falyakfur.
Selanjutnya, sejumlah ketentuan syari’at (sering disamakan dengan fikih) seperti riddah, kufr yang oleh sebagian kalangan dikumandangkan sebagai argumen penolakan ajaran toleransi merupakan kesalahan fatal (khatha` jali) dalam meletakkan syari’at atau lebih tepatnya fikih itu sendiri. Artinya, fikih atau syari’at tidak diletakkan dalam proporsinya yang benar, sebagai jalan (syir’ah, shirath) untuk sampai kepada Tuhan. Syari’at bukanlah–meminjam bahasa para ahli ushul fikih–ghayah melainkan washilah. Dalam ushul fikih, cukup kesohor adanya sebuah kaidah; al-Islam murunatun fiy al-wasa`il wa tsabatun fiy al-shayat. Oleh karena itu, sangat masuk akal jika syari’at dari setiap pembawa pesan dan risalah ketuhanan, hampir selalu berbeda-beda mengikuti perbedaan ruang dan waktu.