Menurut Kiai Maimoen, kedudukan mata uang kertas di era saat ini sama halnya seperti mata uang logam emas dan perak di era dulu, sebab memiliki fungsi yang sama, yaitu sama-sama digunakan untuk berbelanja, membeli barang, membayar hutang, dll. Bahkan di semua negara dan seluruh umat di dunia melakukan transaksi dengan menggunakan uang kertas tanpa terkecuali, orang dapat dikatakan kaya juga standar ukurannya adalah mempunyai uang kertas banyak, semua kebutuhan manusia juga tidak lepas dari uang kertas, disamping itu uang kertas sudah menjadi standar mata uang di seluruh negara. Oleh sebab itulah Kiai Maimoen mengatakan dalam kitabnya al-Ulamâ al-Mujaddidûn yang termaktub sebagai berikut:
كانت بهذا الإعتبار أموالا نامية أو قابلة للنماء شأنها شأن الذهب والفضة
Maksudnya: “Dengan mempertimbangkan hal tersebut (yang telah penulis paparkan di atas), maka mata uang kertas merupakan kategori harta yang dapat berkembang (baca: produktif), karena memiliki karakter dan sifat yang bertambah, dan meningkat, atau dalam bahasa jawa populer dengan sebutan “mundak-mundak”. Walhasil, kedudukan mata uang kertas saat ini adalah sama halnya dengan emas dan perak di era dulu.
Dengan demikian, zakat pada mata uang kertas hukumnya wajib apabila telah mencapai nisab yang sama pada emas dan perak, sedangkan ukuran yang dikeluarkan dalam zakat uang adalah 2,5% dengan mempertimbangkan beberapa syarat, yakni:
- Harta yang dimiliki muzakki (orang berkewajiban zakat) telah melebihi kebutuhan primernya, seperti nafkah, rumah, sandang/pakaian, serta kebutuhan orang-orang yang menjadi tanggungjawab si muzakki.
- Nisabnya telah melewati satu haul atau satu tahun hijriyah.
- Muzakki tidak mempunyai tanggungan hutang-piutang yang dapat mengurangi atau menghabiskan hartanya, sehingga berimplikasi kurangnya ukuran nisab yang telah ditentukan.
Lantas bagaimanakah cara menghitung nisabnya?
Bagi Kiai Maimoen, sebaiknya kalkulasi nisab pada zakat uang kertas disamakan dengan nisabnya dinar, bukan dirham. Alasan beliau, ketika Rasulullah SAW menetapkan nisab pada emas dan perak, Rasulullah tidak bermaksud menjadikan dua nisab yang berbeda. Dengan kata lain, keduanya adalah satu nisab yang diukur dengan kurs yang berbeda, sebab arti pada nisab sendir ialah standar yang dianggap kaya menurut pandangan syariat.
Walhasil jika ada pertanyaan “siapakah orang kaya menurut perspektif syariat”?, maka jawaban yang tepat adalah orang-orang yang memiliki harta satu nisab. Disebutkan dalam kitab al-‘Ulamâ al-Mujaddidûn ada dua, yaitu bisa berupa 20 mitsqal emas, yaitu setara dengan 82,5 gram, atau bisa berupa 200 dirham, yaitu setara dengan 825 gram.