Bagi masyarakat Jawa khususnya dan masyarakat Indonesia umumnya, adanya tumbal pesugihan dalam konteks “ritual” untuk mencari kekayaan sangat lazim terjadi. Meskipun praktiknya berbeda. Namun perbedaan mendasar itu yang melahirkan justifikasi normatif dari hukum agama. Clifford Geertz saat melihat tatanan orang Jawa dalam melaksanakan ritual keselamatan justru lebih memperlihatkan adanya kebersamaan ideologi antara varian masyarakat.
Hal itu juga sama halnya dengan masing-masing orang beragama memiliki kepercayaan adanya wasilah atau mediator untuk meraih sesuatu. Misalnya dilakukan dengan bacaan-bacaan kalimah suci tertentu, dengan ayat-ayat Al-Qur’an dan sejenisnya. Hanya saja ketika prinsip tersebut membaur atau berakulturasi dengan adat lokal maka praktiknya menjadi beragam.
Dalam sejarah Jawa, Ricklefs menyebutnya sebagai bentuk mistis sintesis. Di satu sisi orang tersebut tekun mempraktikkan ajaran agamanya, namun di sisi lain terlibat pada pengalaman mistis tradisional. Seperti halnya yang dilakukan para raja Islam di Jawa.
Namun jika ditarik pada sejarah Islam, Al-Qur’an sendiri merekam tradisi persembahan (jika tidak mau disebut tumbal) yang dilakukan oleh umat-umat terdahulu. Dalam surah Al-Maidah ayat 27. Dalam Tafsir al-Shawi diceritakan bahwa tradisi kurban orang-orang terdahulu adalah memberikan suguhan berupa makanan maupun hewan. Jika suguhan itu diterima tandanya suguhan itu akan hilang diambil oleh api yang turun dari langit.
Masyarakat Jahiliyah dahulu sangat populer dengan praktik seperti itu. Bahkan mereka menjadikan Ka’bah sebagai tempat untuk eksekusi kurban yang konon darah yang mengalir itu akan diterima oleh tuhan-tuhan mereka. Tradisi ini juga dilakukan oleh umat-umat lain yang dalam keyakinan beragama mereka mempercayai bahwa tuhan-tuhan mereka menghendaki nyawa untuk keselamatan, kemakmuran, dan kedamaian.
Namun praktik persembahan seperti tumbal pesugihan yang dilakukan oleh masyarakat Indonesia dari era pra Islam sebenarnya sudah bergeser. Hal itu karena islamisasi yang dilakukan oleh para penyebar Islam tidak melakukan perombakan secara radikal. Jadi, meskipun praktik tumbal pesugihan dengan mengorbankan nyawa masih ada saat itu, itu karena keyakinan sebagian orang yang masih dominan akan hal itu. Padahal tidak seharusnya dilakukan sebab tidak sesuai dengan etika agama dan kemanusiaan.