Islamina.id – Ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadits Nabi Muhammad selama ini diklaim oleh kelompok teroris sebagai pijakan mereka mendapatkan legalitas dalam melakukan aksi kejam. Seperti membunuh, merampok, menghancurkan tempat-tempat yang dinilai sebagai ladang kekufuran, mengkafirkan, bahkan memurtadkan orang-orang yang dianggap tidak sesuai dengan akidah mereka. Pertanyaannya benarkah Al-Qur’an mengajarkan demikian?
Ibnu Hizam an-Nawawi dalam kata pengantar salah satu kitabnya, al-Tibyan fi Adabi Hamalati al-Qur’an menuliskan kekagumannya terhadap orang-orang muslim baik yang ada di Damaskus maupun di Negara-negara lainnya saat itu yang membaca Al-Qur’an, mempelajari isinya, mendiskusikan ilmunya, dll. Menurut an-Nawawi, apa yang dilakukan oleh umat muslim itu justru menjadikan Al-Qur’an sebagai pemantik keinginan mereka untuk terus mempelajari Al-Qur’an sampai menuai kekayaannya.
Jika demikian, benar saja jika Al-Qur’an itu sebagai sumber inspirasi ilmu. Abu Hamid al-Ghazali dalam Ihya’ ‘Ulum al-Din menegaskan bahwa ayat-ayat Al-Qur’an menyimpan rahasia yang tidak terbatasi. Sehingga ia menawarkan Al-Qur’an bisa dijadikan sebagai inspirasi sains. Syaikh Yusuf al-Qaradlawi juga menulis bahwa Al-Qur’an itu ibarat mutiara yang sangat berharga. Atau sesuai dengan hadits Nabi bahwa Al-Qur’an adalah hidangan, siapa yang bisa masuk ke dalamnya maka ia akan aman.
Baca juga: Penutupan Media Radikal Sebagai Tindakan Preventif
Para ulama manapun sepakat atas keistimewaan Al-Qur’an dari segi bacaan maupun pemaknaan. Tetapi benarkah Al-Qur’an mengajarkan untuk jadi teroris? Di sini perlunya menjadi manusia yang utuh. Selain menggunakan kemampuan rasional juga harus menggunakan ketajaman spiritual. Karena hadits Nabi mengatakan bahwa Allah tidak menyiksa hati siapapun yang mencerna untuk memahami ayat-ayat Al-Qur’an. Jadi ketika melakukan pemahaman harus dengan hati, tidak dengan nafsu.
Sayangnya ada sebagian kelompok yang abai dengan peran hati dalam beragama, dengan menuding, “beragama itu jangan pakai perasaan. Tapi katakanlah yang benar, ya, benar, kafir, ya kafir.” Okelah. Itu benar, tapi permasalahan berikutnya akan muncul, misalnya dengan bertanya, apa parameter kebenaran itu? Apa tolok ukur kafir itu? Di sini problem itu perlu dipecahkan segera.