Saya mau membuat pengakuan jujur: bahwa saya sebetulnya tidak terlalu mengenal sosok Agus Sunyoto (saya biasa memanggilnya: Mas Agus, dan panggilan ini akan saya pakai seterusnya dalam tulisan ini) secara pribadi. Persinggungan saya dengan sosok ini hanya bersifat selintas, kasual, dan sambil lalu saja. Saya juga tidak membaca secara mendalam tulisan-tulisan Mas Agus. Beberapa bukunya saya baca, terutama mengenai sejarah Wali Sanga.
Saya mengikuti sebagian kecil dari ceramah-ceramahnya, baik secara langsung atau melalui Youtube. Jika saya tidak membaca tulisan-tulisan Mas Agus, itu bukanlah karena pikiran-pikirannya tidak menarik, melainkan karena perhatian intelektual dan minat “akademis” saya tidak banyak bersinggungan dengan tema-tema yang menjadi pokok pembahasan dia.
Dalam akhir hayatnya, misalnya, Mas Agus banyak berbicara mengenai sejarah Majapahit dalam “sudut pandang” yang khas. Saya kurang (atau mungkin “belum”) memiliki minat dalam tema-tema mengenai “sejarah kuno” semacam ini. Inilah yang menjelaskan kenapa saya tidak banyak membaca tulisan Mas Agus. Tetapi saya “terpaksa” menulis tentang sosok ini karena, pertama, saya diminta teman-teman yang menyiapkan sebuah buku untuk mengenang 100 hari wafatnya Mas Agus; dan, kedua, sebagai penghormatan terhadap sosok yang saya anggap penting dalam NU.
Dan ini, terus terang, yang membuat saya agak kesulitan menulis semacam “memoar kecil” mengenai sosok ini, karena tidak ada “persinggungan” yang mendalam antara dia dengan saya. Saya pernah “sowan” ke rumahnya di Malang, dan berbincang-bincang (tidak lama) mengenai banyak aspek dalam sejarah. Dari percakapan yang hanya sebentar itu, saya punya kesan: Mas Agus menyimpan semacam “api” dalam dirinya. Api ini tampaknya yang mendorongnya untuk menulis semacam “sejarah alternatif.”
Saya juga tidak yakin apakah istilah “alternatif” di sini tepat. Juga saya bertanya-tanya pada diri sendiri: alternatifnya dalam aspek apa? Aspek tema? Pendekatan? Atau model penulisan/historiografinya? Saya, terus terang, tidak tahu jawabannya.
Tetapi, dari pelbagai diskusi dengan teman-teman, dan dari kesan sekilas saya berbicara dengan Mas Agus, atau mendengarkan sebagian ceramah-ceramahnya (sekali lagi: saya tidak banyak mengikuti ceramah dia), saya punya kesan bahwa aspek “alternatif” dalam sejarah yang ditulis oleh Mas Agus itu tampaknya terletak dari segi pendekatan; juga tema yang ia pilih. Meskipun saya tidak bisa menjelaskan secara “substantif” apa pendekatan yang dipakai oleh Mas Agus dalam menulis sejarah, tetapi saya menduga: dia kurang cocok dengan sejarah, atau lebih tepatnya: historiografi, sebagaimana dipraktekkan di kalangan sejarawan yang “mainstream” di Indonesia.
Saya menduga, Mas Agus kurang “sreg” dengan model penulisan sejarah arus-utama ini karena, antara lain, versi ini kurang memberikan perlakukan yang “adil” kepada masyarakat Islam “tradisional” (jika istilah ini bisa kita pakai, meski harus dengan sikap hati-hati) yang sangat dia akrabi. Kita tahu, sejarah Indonesia memang ditulis dengan “bias modern” yang sangat kuat. Apa yang saya maksud dengan “bias modern” di sini adalah kecenderungan untuk memberikan perhatian yang lebih, dan “favoritistik,” kepada sektor masyarakat modern yang umumnya, secara geografis, terletak di daerah perkotaan. Sejarah yang berkenaan dengan sektor pedesaan yang tradisional kurang banyak diperhatikan.
Ini jelas terkait dengan asumsi epistemologis dalam historiografi modern. Misalnya, ada asumsi bahwa apa yang layak ditulis sebagai sejarah dan diketengahkan kepada publik adalah hal-hal yang berkenaan dengan segi-segi kehidupan di kota; sebab, di kota lah segala dinamik perubahan terjadi. Kehidupan di desa dianggap tidak menyimpan “tambang data dan sejarah” yang layak ditulis. Di sana, kehidupan berjalan “statik,” tidak ada perubahan dinamis yang layak diperhatikan. Di sektor pedesaan ini, tak ada “sejarah” yang menarik; atau jika ada sejarah di sana, ia tidaklah semenarik “sejarah” tentang kota.
Dalam dunia penulisan berita, kita mengenal apa yang disebut “news-worthiness,” kelayakan sebuah peristiwa untuk diangkat sebagai berita dan diketengahkan kepada khalayak luas. Saya kira ada asumsi umum, meskipun sekarang sudah dikoreksi (walaupun koreksinya masih terbatas!), dalam historiografi modern bahwa kehidupan di desa, atau dinamik sosial-kebudayaan yang berlangsung di ruang sosial yang tradisional, tidak banyak peristiwa yang mengandung semacam “news-worthiness.” Karena itu, “historical gaze,” atau mata kesejarahan yang dipunyai oleh para sejarawan tidak banyak melayangkan pandangannya ke sektor ini.
Aspek lain yang problematis dalam historiografi modern adalah adanya (ini istilah saya sendiri yang belum tentu tepat!) “materiality bias,” yaitu cenderung mendefinisikan “sejarah” sebagai peristiwa yang disokong oleh bukti-bukti “material.” Ini bisa berupa tulisan, inskripsi, prasasti, koin, dan artefak-artefak material lain yang bisa dilihat secara kasat mata.
Meskipun sudah ada jenis historiografi yang menggunakan “kesaksian lisan” turun-temurun sebagai bukti (disebut “sejarah lisan”), tetapi, secara ontologis, sejarah yang demikian itu, yang didasarkan pada bukti-bukti yang “non-material” (sebaliknya, hanya melalui ingatan saja), cenderung dianggap “less historical,” kurang bernilai secara sejarah. Kedudukannya pun, dalam hirarki historiografi, dianggap lebih rendah. Buktinya kurang kuat! Bias semacam ini cenderung merugikan masyarakat yang tidak memiliki tradisi tulis yang kuat; masyarakat yang merawat “ingatan kolektif” mereka bukan melalui catatan tertulis, tetapi tradisi lisan yang dikisahkan secara turun-temurun. Akibat dari bias-bias semacam ini, penulisan sejarah “resmi” cenderung “valorizing,” memenangkan sektor modern yang memang sudah mengenal budaya tulis dalam derajat yang canggih.
Apa yang disebut sebagai “sejarah Indonesia,” misalnya, jelas amat banyak dipengaruhi oleh bias-bias semacam ini. Segi-segi sejarah yang berlangsung di ruang sosial yang non-modern kurang mendapatkan perlakuan yang adil. Karena sejarah resmi ini diajarkan di lembaga pendidikan modern secara massal, maka “sejarah resmi” semacam ini kemudian membentuk “ingatan kolektif” yang eksklusif (artinya: tidak inklusif). Sebab ia ditulis dengan “historical gaze” yang terarah kepada sektor sosial tertentu, mengabaikan sektor yang lain. Narasi mengenai masyarakat pesantren dan peran-perannya dalam sejarah kebangkitan nasional, misalnya, tidak begitu menonjol dalam sejarah resmi ini. Dan kita tahu, setiap bentuk eksklusivitas pastilah akan berujung kepada ketidak-adilan.
Meskipun tidak bisa memastikan, tetapi saya memiliki dugaan bahwa Mas Agus bergumul dengan problem-problem historiografis semacam ini. Dan inilah tampaknya yang mendorongnya untuk “keluar” dari sejarah resmi, dan mencoba mengeksplorasi wilayah-wilayah yang selama ini kurang mendapatkan perhatian. Misalnya, salah satu warisan penting dia adalah penulisan sejarah Wali Sanga. Saya kira, dengan warisan yang satu ini saja, Mas Agus sudah meninggalkan “monumen historiografi” yang penting.
Baca Juga:
Melacak Keabnormalan dalam Islamisasi Tanah Jawa (1)
Sejarawan Profesional yang Tak Lazim
Saya kira, ada banyak orang yang “salah paham” mengenai sosok Agus Sunyoto ini. Semoga saya keliru dalam dugaan ini. Dan salah paham ini bisa datang dari dua belah pihak sekaligus: yaitu masyarakat nahdliyyin sendiri, atau di luarnya. Apa yang saya maksud dengan “salah paham” di sini ialah adanya anggapan bahwa Mas Agus menulis “sejarah” dalam pengertian “hagiografi” sebagaimana banyak kita jumpai di dalam masyarakat kita, terutama masyarakat pesantren.
Hagiografi adalah sejarah yang ditulis hanya dengan tujuan untuk “mensucikan” tokoh tertentu, tanpa kesadaran kritis mengenai validitas data-data pendukungnya, dan cara mem-verifikasi-nya. Sekarang ini, misalnya, banyak kita jumpai buku-buku yang ditulis oleh “sejarawan pertikelir” mengenai kiai ini atau itu, pondok ini atau itu, tanpa dibarengi dengan kemampuan untuk nenapis data, dan mem-verifikasi-nya.
“Sejarah” dalam pengertian populer ini direduksi hanya semata-mata sebagai proses memindahkan kesaksian populer dalam masyarakat kedalam sebuah tulisan. Tulisan semacam ini sebetulnya tidak bisa disebut “sejarah” dalam pengertian yang ketat. Ini hanyalah semacam “tutur tinular.” Mas Agus tidak menulis sejarah semacam ini.
Bagaimanapun, dia adalah sosok sejarawan yang terdidik secara profesional dalam penulisan sejarah sebagaimana dikenal di perguruan tinggi modern. Dengan kata lain, dia memiliki latihan akademis sebagai sejarawan, bukan sekedar seorang penulis yang rajin mengumpulkan tuturan-tuturan yang berkembang di masyarakat, lalu meramunya menjadi sebuah “kisah.”
Mas Agus, dengan kata lain, menulis sejarah dengan kesadaran penuh tentang problem-problem dalam historiografi yang mapan dan dominan. Kesadaran ini yang membawa dia ke semacam “terra incognita,” wilayah yang jarang dijelajahi oleh sejarawan “resmi” yang lain. Narasi dia tentang “agama Kapitayan,” misalnya, adalah bentuk “perlawanan” terhadap “narasi resmi” mengenai sejarah pengislaman tanah Jawa.