Selama berabad-abad, Islam dan umat Muslim harus membayar mahal akibat penyimpangan kelompok-kelompok Khawarij dari jalan agama yang benar, pengkafiran masyarakat, dan penghalalan darah serta harta umat Muslim.
Sejak Dzu al-Khuwaishirah al-Tamimi menyatakan pendapat pribadinya tentang harta rampasan perang yang dibagi-bagikan oleh Nabi Muhammad Saw. dan menuduh beliau tidak berlaku adil,[1] percikan bunga api perselisihan dan kekacauan tak terelakkan lagi di kalangan umat Muslim yang ditandai dengan munculnya seorang Khawarij pertama dalam Islam. Kala itu Nabi Saw. sudah memprediksi bahwa kelak dari orang tersebut akan lahir sekelompok orang (pengikut) yang membaca al-Qur`an tetapi tidak sampai kerongkongan. Mereka lepas (keluar) dari agama seperti lepasnya anak panah dari busurnya.[2]
Setelah itu berbagai peristiwa fitnah (kekacauan) dan teror bermunculan, dimulai dari pembunuhan dua khalifah, yaitu Utsman ibn Affan dan Ali ibn Abi Thalib, melalui puluhan kelompok Khawarij yang muncul di setiap masa, hingga ISIS dan kelompok-kelompok sejenis sampai saat ini.
Di dalam banyak hadits, Nabi menggambarkan mereka sebagai kelompok sesat, sangat keras dalam agama, masuk dan keluar Islam seperti lepasnya anak panah dari busurnya. Meskipun banyak beribadah dengan mengerjakan shalat, puasa, dan pembacaan al-Qur`an, tetapi iman mereka tidak melebihi kerongkongan. Mereka dinilai sebagai makhluk paling buruk, Allah menutup hati mereka dari kebenaran sehingga mereka tidak bisa mengikutinya. Kesombongan telah menjangkiti mereka, karenanya mereka selalu merasa paling benar dalam menjalankan ajaran agama.
Pidato salah seorang pemimpin mereka, Abdullah ibn Wahb al-Rasibi (w. 38 H/659 M),[3] setelah mereka bersumpah setia kepadanya, menjelaskan kaedah dan manhaj yang dikembangkan oleh kaum Khawarij pertama, yang kemudian dijadikan pijakan oleh seluruh kelompok teroris dan kelompok Takfiri sampai saat ini sebagai dasar pemikiran untuk ekstremisme, pengkafiran masyarakat, urgensi hijrah, dan pembentukan masyarakat alternatif, di mana ia mengajak umat Muslim untuk menentang dan memberontak kepada Ali ibn Abi Thalib, “Keluarkanlah saudara-saudara kita dari negeri berpenduduk zhalim ini ke balik pegunungan di puncak-puncaknya atau di beberapa negeri lainnya, demi mengingkari tahkîm (arbitrase) yang zhalim ini.” Abdullah ibn Wahb al-Rasibi dikenal sebagai orang yang saleh, wara’, dan ahli ibadah. Ia bahkan dijuluki Dzu al-Tsafinat (pemilik dahi yang keras) karena seringnya diletakkan di atas tanah ketika shalat di dalam sujud yang panjang.[4]
Dzu al-Khuwaishirah, Khawarij Pertama dalam Islam
Di dalam karyanya yang terkenal, “al-Milal wa al-Nihal,” al-Syahrastani (474-548 H/1076-1153 M) mendefinisikan Khawarij sebagai kelompok pembangkang atau pemberontak kapanpun dan di manapun terhadap pemimpin yang terpilih secara sah dan disepakati mayoritas. Ia berkata, “Setiap orang yang memberontak kepada imam (pemimpin) yang telah disepakati umat Muslim disebut Khawarij. Sama saja, apakah ia memberontak di masa sahabat kepada al-Khulafa` al-Rasyidin, atau setelah mereka di masa Tabi’in dan para imam di setiap zaman.”[5]
Ibn Hazm menambahkan bahwa Khawarij merupakan nama yang disematkan kepada setiap orang yang membangkang dan memberontak terhadap Imam Ali ibn Abi Thalib atau siapapun yang mempunyai pandangan yang sama dengan mereka di setiap zaman, baik yang terkait dengan pengkafiran pelaku dosa besar (al-kabâ`ir) dan pendapat bahwa pelaku dosa besar itu abadi di neraka.[6]
Namun, sebagian sejarawan berpandangan bahwa munculnya Khawarij dimulai pada masa Nabi Muhammad Saw., dan bahwa Khawarij pertama adalah Dzu al-Khuwaishirah al-Tamimi, yaitu orang pertama yang menentang Nabi dalam pembagian harta rampasan perang dengan menuduh beliau tidak adil. Said al-Khudri berkata, “Ali ibn Abi Thalib pernah mengirim emas kepada Rasulullah Saw. dari Yaman. Kemudian Rasulullah Saw. membagikannya kepada empat orang, yaitu: Uyainah ibn Hisn, al-Aqra ibn Habis, dan Zaid al-Khalil. Sedangkah yang keempat antara Alqamah ibn Ulatsah atau Amir ibn al-Thufail. Maka ada seorang sahabat yang mengatakan, ‘Kami lebih berhak atas pemberian ini daripada mereka.’ Hal ini sampai kepada Rasulullah Saw., maka beliau pun bersabda, ‘Mengapa kalian tidak mempercayaiku? Padahal aku adalah kepercayaan penghuni langit, dan aku selalu mendapat berita dari langit setiap saat.’ Abu Said berkata, ‘Lalu seorang laki-laki bermata cekung yang pipi bagian atasnya menonjol, jenggotnya lebat, rambutnya pendek dan pakaiannya disingsingkan berkata, ‘Ya Rasulullah, bertakwalah kepada Allah!’ Maka beliau menjawab, ‘Celaka kamu! Bukankah aku ini penduduk bumi yang paling bertakwa kepada Allah?’ Kemudian laki-laki tersebut berpaling, lalu Khalid ibn al-Walid berkata, ‘Ya Rasulullah, izinkan aku untuk memenggal lehernya.’ Beliau bersabda, ‘Jangan, mungkin ia juga shalat.’ Khalid berkata, ‘Banyak orang shalat, hanya lisannya yang berucap tetapi hatinya tidak.’ Rasulullah bersabda, ‘Sesungguhnya aku tidak diperintahkan untuk menyakiti hati manusia, tidak pula untuk membelah dada mereka.’ Abu Said berkata, ‘Kemudian beliau memandangi orang tersebut, dan ketika ia datang, beliau bersabda, ‘Sesungguhnya dari kelompok orang ini akan muncul orang-orang yang mulutnya senantiasa membaca Kitabullah, tetapi tidak sampai melewati kerongkongan mereka. Mereka keluar dari agama Allah sebagaimana meluncurnya anak panah dari busurnya.”[7]
Ibn al-Jauzi (508 – 597 H) mengatakan bahwa orang Khawarij pertama adalah Dzu al-Khuwaishirah al-Tamimi. Ia adalah orang pertama yang memprotes keputusan Nabi, dan para pengikutnya di kemudian hari memerangi Ali ibn Abi Thalib karena dianggap kafir dan keluar dari Islam.[8]
Diriwayatkan bahwa Nabi bersabda, “Akan muncul di umat ini suatu kaum yang menganggap remeh shalat kalian dibandingkan dengan shalat mereka. Mereka membaca al-Qur`an tapi hanya sebatas kerongkongan mereka saja. Mereka keluar dari agama (Islam), seperti anak panah yang melesat. Mereka adalah seburuk-buruknya makhluk.”[9] Dalam riwayat lain beliau mengatakan, “Mereka adalah seburuk-buruk makhluk—atau dari kalangan seburuk-buruk makhluk—yang akan membunuh mereka adalah salah satu dari dua kelompok yang paling dekat dengan kebenaran.”[10] Sebagaimana diriwayatkan juga bahwa beliau bersabda, “Akan muncul suatu kaum yang tersesat dari timur, rambut mereka dicukur/kepala mereka gundul.”[11] Menurut Imam al-Nawawi, mereka menjauh dari kebenaran atau menyimpang dari jalan kebenaran.
Menurut Ubaidillah ibn Abi Rafi’, budak Nabi, ketika kelompok Haruriyah[12] (salah satu kelompok Khawarij) memberontak kepada pemerintahan Ali ibn Abu Thalib, mereka berkata, “Tidak ada hukum kecuali kepunyaan Allah.” Ali berkata, “Itu adalah kalimat yang haqq (benar), namun dimaksudkan untuk kebatilan. Sesungguhnya Rasulullah Saw. telah menggambarkan suatu kelompok manusia, dan aku benar-benar tahu bahwa gambaran itu terdapat pada diri mereka. Mereka mengucapkan kebenaran dengan lisan-lisan mereka, namun ucapan mereka itu tidak sampai melewati ini (ia sambil memberi isyarat pada kerongkongannya).”[13]
Hadits-hadits di atas menggambarkan orang-orang Khawarij sebagai kelompok yang telah menyimpang dari agama. Mereka sangat ekstrim dalam beragama, tetapi mereka menyimpang darinya dengan cepat tanpa mereka sadari. Hati mereka sejatinya tidak memahami al-Qur`an, mereka membawanya tanpa tujuan. Iman mereka hanya sebatas ucapan saja. Mereka jauh dari kebenaran, dan mereka pun tak bisa mengikutinya.
Pembunuhan Utsman ibn Affan
Orang-orang yang berdatangan dari Mesir, Kufah, dan Basrah dengan penuh kemarahan mengepung rumah Khalifah Utsman ibn Affan. Mereka menuntut supaya Utsman memecat para pembantunya dan menindak tegas kezhaliman mereka. Mereka mengancam akan menurunkannya secara paksa atau bahkan membunuhnya jika tuntutan mereka tidak dipenuhi. Utsman kemudian menasihati dan memberi mereka isyarat bahwa jika mereka membunuhnya maka itu akan membuka pintu kekerasan tanpa bisa ditutup kembali. Ia berkata, “Sesungguhnya tidak boleh membunuh kecuali dalam tiga hal: orang yang melakukan zina setelah menikah, orang yang kafir setelah beriman, dan orang yang membunuh jiwa manusia tanpa alasan yang benar. Maka jika kalian membunuhku, berarti kalian telah meletakkan pedang di atas tengkuk kalian sendiri. Sesudah itu Allah tidak akan memulihkan pertikaian di antara kalian untuk selamanya.”[14]
Tanggapan mereka terhadap pernyataan Utsman ibn Affan kemudian menjadi pembenaran bagi setiap tindakan pembunuhan dan terorisme di dalam sejarah Islam, “Kami menemukan di dalam Kitabullah (al-Qur`an) bahwa boleh membunuh selain tiga orang yang kau sebutkan: membunuh orang yang berupaya membuat kerusakan di muka bumi, membunuh orang yang lalim (melampaui batas) dan ia berjuang berdasar kelalimannya, dan membunuh orang yang mencegah dan menghalangi kebenaran dan ia berjuang tanpa kebenaran. Kau telah memegang kekuasaan atas kami. Jika kau mengklaim bahwa kau tidak melalimi kami, maka orang-orang yang melindungimu dari kami sesungguhnya mereka berjuang agar kau tetap memegang kekuasaan itu. Jika kau melepaskan kekuasaanmu itu, niscaya mereka akan pergi meninggalkanmu.”[15]
Pengepungan berlangsung selama empat puluh hari. Pada malam kedelapan belas, pengepungan semakin ketat, bahkan Utsman ibn Affan kesulitan mendapatkan air. Ia kemudian mengutus seorang utusan secara diam-diam kepada Ali ibn Abi Thalib, Thalhah, al-Zubair, dan para istri Nabi, “Mereka mencegahku untuk memperoleh air. Jika kalian dapat mengirimkan air untukku, lakukanlah.” Orang pertama yang memenuhi permintaan Utsman ibn Affan adalah Ali ibn Abi Thalib dan Ummu Habibah, istri Nabi.[16]
Utsman ibn Affan mengawasi orang-orang yang mengepung rumahnya. Ia khawatir terjadi pertumpahan darah karena dirinya. Ia pun memanggil Abdullah ibn Abbas dan memerintahkannya untuk menunaikan ibadah haji bersama orang-orang yang menjaga rumahnya untuk melindunginya, tetapi Abdullah ibn Abbas berkata, “Jihad mereka [untuk melindungimu] lebih aku sukai daripada haji.” Ia bersumpah untuk itu, lalu ia pergi dari sisi Utsman. Utsman kemudian memberikan nasihat kepada al-Zubair, setelah itu ia pun pergi.[17]
Pada 17 Dzulhijjah tahun 36 H, Utsman berkata kepada orang-orang yang ada di dekatnya dari kaum Muhajirin dan Anshar, termasuk Abdullah ibn Umar, Abdullah ibn al-Zubair, al-Hasan ibn Ali, al-Husain ibn Ali, Marwan, Abu Hurairah, dan para budaknya. Merekalah yang selalu melindunginya dari para pemberontak. “Aku bersumpah kepada siapapun yang mempunyai hak, kendalikan tangannya, pulang ke rumah, dan keluar dari sini tanpa perlawanan.” Mereka pun keluar. Kepada para budaknya, Utsman berkata, “Siapapun yang menyarungkan pedangnya maka ia bebas.” Gejolak di dalam rumah Utsman mereda, al-Hasan ibn Ali keluar dari rumah Utsman sembari berkata, “Agama mereka (para pemberontak) bukanlah agamaku, dan aku bukan bagian dari mereka.”[18]
Pada tanggal 18 Dzulhijjah, suasana semakin memanas. Para pengepung mulai mencoba memasuki rumah Utsman. Mereka kemudian berhasil mendobrak pintu rumah Utsman. Abu Hurairah sempat menegur mereka dengan keras, “Duhai, bagaimana kalian ini, aku mengajak kalian kepada keselamatan namun kalian malah mengajakku ke neraka.” Abu Hurairah dikenal sebagai sahabat yang sangat dekat dengan Nabi Saw., maka tegurannya pun seharusnya didengar oleh para pemberontak. Namun sayang, hati dan telinga mereka telah terkunci, mereka pun menjawab nasihat-nasihat Abu Hurairah dengan kata-kata, “Hari ini adalah hari dihalalkannya pertumpahan darah!”[19]
Seseorang yang diketahui bernama al-Ghafiqi berhasil masuk ke kamarnya dan memukul Utsman dengan potongan besi dan menendang al-Qur`an yang ada di tangannya. Darah mengalir dari kening Utsman membasahi al-Qur`an itu. Setelah itu giliran Saudan ibn Hamran yang menyerangnya. Saudan hendak menebas tubuh Utsman dengan pedangnya. Saat itulah Nailah al-Farafishah, istri Utsman, tiba-tiba datang dari ruangan sebelah dan mendorong Saudan. Saudan pun terjatuh. Kendati begitu, dorongan Nailah tak membuat Saudan surut. Saudan bereaksi dengan menebaskan pedangnya ke tangan Nailah. Jari-jari tangan Nailah pun terputus dan tangannya berlumuran darah. Lalu dengan sangat tidak sabar ia menebaskan pedangnya ke tubuh Utsman sampai terbunuh.[20]
Saat terbunuh Utsman sedang khusyuk membaca al-Qur`an di kamarnya. Darah yang mengalir dari tubuhnya tepat mengenai ayat 137 dari Surah al-Baqarah, “Maka jika mereka beriman kepada apa yang kamu telah beriman kepadanya, sungguh mereka telah mendapat petunjuk; dan jika mereka berpaling, sesungguhnya mereka berada dalam permusuhan [dengan kamu]. Maka Allah akan memelihara kamu dari mereka. Dan Dialah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” Dikatakan, Amru ibn al-Hamq menerjang dada Utsman dan menusuknya sembilan kali tusukan. Ia berkata, “Tiga tusukan untuk Allah, sedangkan enam tusukan atas kehendakku sendiri.” Kemudian Umair ibn Dhabi’ datang dan mematahkan tulang rusuk Utsman, ia berkata, “Kau mengurung ayahku sampai ia mati di penjara.”[21]
Para pemberontak itu ingin memenggal kepala Utsman, tetapi istrinya menjerit dan mereka pun meninggalkannya. Kemudian mereka merampas harta yang ada di rumah Utsman dan berikutnya merampok harta Baitul Mal.[22]
Bersambung…
[1] Sepulang dari Fath Makkah, Rasulullah Saw. bersama pasukan Muslim mengepung Kabilah Hawazin dan terlibat perang di lembah Hunain. Beliau mendapatkan rampasan perang yang banyak: 4.000 ons perak, 24.000 ekor unta, dan 40.000 ekor kambing. Beliau singgah di lembah Ji’ranah dan membagikan sebagian harta yang disimpan Bilal. Tiba-tiba datang seorang laki-laki bernama Dzu al-Khuwaishirah al-Tamimi menegur beliau, “Hai Muhammad, berlakulah adil!” Rasulullah Saw. murka dan menjawab, “Celaka. Kalau aku saja tidak adil, lantas siapa yang adil! Seandainya aku tidak adil, niscaya kamu buntung dan rugi!” Menurut sejumlah riwayat, peristiwa ini terjadi pada tahun 8 H.