Sejak dua dekade terakhir, khususnya sejak reformasi tahun 1998, fenomena radikalisme menunjukkan indikasi peningkatan, bukan hanya di masyarakat secara umum, melainkan juga di lingkungan kampus atau Perguruan Tinggi. Beberapa hasil survey mengkonfirmasi kecenderungan ini, seperti survey BNPT 2017, PPIM 2017, dan hasil survey Alvara Research Center 2017. Marle Calvin Ricklefs, peneliti asal Australia, lebih awal mengkonfirmasikan kecenderungan ini. Menurut Ricklefs, sedang terjadi “pertarungan” di Indonesia, antara kelompok Islam arus utama (mainstream) dan kelompok Islam garis keras.
Kecenderungan ini dijadikan dasar atau alasan pertama pentingnya penguatan moderasi beragama di lingkungan Perguruan Tinggi, di PTKIN khususnya. Alasan kedua, gagasan tentang moderasi beragama dipandang sebagai bagian dari proyek revolusi mental dan sudah masuk dalam RPJMN pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden KH. Ma’ruf Amin mulai tahun anggaran 2020-2024. Alasan ketiga, bagi PTKIN khususnya, adalah keluarnya Surat Edaran Dirjen Pendis Nomor B-3663.1/Dj.I/BA.02/10/2019 tertanggal 29 Oktober 2019 tentang Rumah Moderasi Beragama.
Sejak terbitnya Surat Edaran ini, sudah bermunculan Rumah-rumah Moderasi Beragama (RMB) di kampus-kampus PTKIN di seluruh Indonesia. Dilaporkan, sampai dengan akhir tahun 2020, dari 58 PTKIN, 34 di antaranya sudah me-launching Rumah Moderasi Beragama, termasuk Pusat Kajian Moderasi Beragama (Puji MB) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, sebagai pilot project. Jumlah ini dipastikan akan terus bertambah, seiring dengan perlunya dan harapan agar PTKIN menjadi semacam role model (qudwah hasanah) dalam pengarusutamaan moderasi beragama di Perguruan Tinggi.
Sebagai isu yang relatif baru, gagasan tentang moderasi beragama di Perguruan Tinggi, hemat saya, menghendaki kejelasan paling tidak dalam tiga hal, yaitu konsep, implementasi, dan peranan atau fungsi pokok yang mesti dimainkan oleh Rumah-rumah Moderasi Beragama di PTKIN. Pertama, soal konsep moderasi beragama, yang hal ini mesti ada kerangka pemikiran yang jelas, dan kalau bisa ada prinsip-prinsip yang disepakati bersama, tentang apa yang dimaksud moderasi beragama, termasuk aspek-aspek dan indikator-indikator yang ada di dalamnya.
Pihak Kementerian Agama (era Lukman Hakim Saifuddin), sudah berusaha merumuskan konsep ini, dalam buku bertajuk “Moderasi Beragama” (terbitan Kemenag RI: 2019). Moderasi beragama versi buku ini, dipahami sebagai suatu cara pandang, sikap, dan perilaku selalu mengambil posisi di tengah-tengah, selalu bertindak adil, dan tidak ekstrem dalam beragama. (hlm.17). Dari perspektif Islam, frase “selalu mengambil posisi di tengah” ini penting untuk digarisbawahi agar konsep moderasi benar-benar merupakan paham tengah (tawassuth) atau pertengahan (tawazun).
Jadi, karena posisinya di tengah, konsep moderasi beragama, tidak hanya menolak ekstrem kanan (kelompok radikal), tetapi juga mencegah ekstrem kiri (kelompok liberal). Penegasan posisi tengah ini, hemat saya penting, karena selain sesuai dengan main idea dari moderasi, juga untuk menepis tudingan sebagian orang yang menyatakan bahwa moderasi beragama hanyalah “jubah baru” dari liberalisme agama. Selain makna “tengah” atau “mengambil posisi tengah” yang termasuk wasath atau wasathiyyah dalam Islam, juga bermakna unggul, terbaik, atau lebih utama.
Yang disayangkan, makna ini tidak banyak dielaborasi dan tidak dijadikan sebagai salah satu indikator moderasi dalam buku Moderasi Beragama, terbitan Kemenag RI (2019), yang pada tahap awal ini dijadikan sebagai “rujukan utama” dalam penguatan moderasi beragama di PTKIN. Padahal, hemat saya, makna unggul amat relevan dalam konteks kompetisi Perguruan Tinggi di era disrupsi sekarang dan mendatang. Orang yang moderat, dalam perspektif ini, adalah orang yang memiliki cara pandang, sikap, dan perilaku yang berorientasi pada kemajuan atau keunggulan umat dan bangsa.