Maka, syariat meliputi fiqh, tasawuf, hikmah dan lain sebagainya. Sebab, al-Quran bukan kompilasi hukum, bukan kitab Undang-Undang, bukan kitab sejarah. Melainkan kita suci yang menjadi pedoman bagi seluruh umat manusia.
Akan tetapi, belakangan ini ada sebuah pemahaman yang kurang tepat dalam memaknai syariat. Kata syariat seringkali diartikan dan disamakan dengan fiqih. Para pejuang formalisasi syariat islam, memandang bahwa hukum potong tangan, rajam dan aturan-aturan lain dalam fiqih harus diterapkan dalam kehidupan sosial.
Anehnya, fiqh yang harus diterapkan adalah fiqh karangan ulama-ulama klasik yang hidup ratusan tahun sebelum kita. Menurut Ali al-Tahanawi sebagaimana yang dikutip oleh Jamal al-Banna dalam kitab Nahwa fiy al-Jadid, syariat adalah apa yang telah disyariatkan Allah kepada hamba-Nya tentang hukum yang disampaikan kepada umat melalui para nabi , baik yang berkaitan dengan cara-cara beramal, yang bersifat cabang (furuiyah) yang telah disusun dalam suatu disiplin ilmu yang disebut dengan ilmu fiqih, atau yang berkaitan dengan masalah keimanan yang bersifat pokok (ushuliyyah) yang tersusun dalam ilmu kalam, atau yang berkaitan dengan akhlaq.
Dalam kerangka inilah, dapat dipahami bahwa sesungguhnya syariat tidak hanya meliputi fiqh, tetapi juga terkait dengan yang lain. Maka, penting kiranya merenungkan kembali ungkapan hujjatul islam Abu Hamid al-Ghazali diatas.
Islam sebagai agama yang dibawa oleh nabi Muhammad mengajak umat manusia untuk mendekatkan diri kepada allah (taqarrub ila allah). Kedekatan diri kepada Tuhan bukan hanya ditentukan oleh banyaknya ibadah seperti shalat, puasa, zakat, haji. Tetapi, juga dzikir kepada allah dengan sungguh-sungguh.
Baca juga: Kunci Mendaki Puncak Spiritualitas: Belajar Dari Muhammad dan Sang Buddha
Bisa jadi, kita melaksanakan shalat dengan rajin, tetapi lantaran tidak khusyuk bukan semakin dekat kepada Allah, justru semakin jauh. Sebaliknya, orang yang hanya melaksanakan iabdah sekedar kemampuannya bisa jadi sangat dekat kepada Allah karena ibadah yang dikerjakannya penuh dengan kekhusyuan, ketaatan dan ketulusan.
Allah berfirman dalam hadist qudsi ”innallaha la yandhuru ila ajsamikum walakin yandhuru ila qulubikum” [Allah tidak melihat jasad-fisik seseorang, melainkan melihat hatinya]. Dan, hanya orang-orang yang berdzikir itulah yang bisa merasakan kedamaian, ketenangan yang sesungguhnya. Ala bidzikrillahi tathmainnul qulub
Kedua, tujuan kedatangan islam bukan untuk memusnahkan dan membunuh pemeluk agama lain. Dan satu ayatpun dalam al-Quran yang mengharuskan seseorang untuk membunuh.
Sebaliknya, islam mengajarkan sikap ramah, santun, toleran, berdamai kepada siapapun. Sepanjang hidupnya, Rasul tidak pernah menyuruh penganutnya untuk membunuh pemeluk agama lain. Nabi Muhammad justru hidup berdampingan secara damai dengan pemeluk agama.
Kendati nabi mendapat perlakuan yang tidak manusiawi dari masyarakat Jahiliyah, tetapi beliau sama sekali tidak dendam dan tidak membalasnya. Justru nabi mendoakan agar orang tersebut mendapat hidayat dan mendapat keselamatan didunia dan akhirat.
Dalam kerangka tersebut, Abu Zahro dalam kitab Ushul Fiqh ketika membahas bab Syaru man qablana menjelaskan Inna al-syaraIah al-samawiyah wahidatun fiy ashliha [bahwa sesungguhnya seluruh syariat pada dasarnya adalah satu.] Seluruh nabi yang diutus oleh Allah kemuka bumi ini sama sekali tidak membawa syariat yang berbeda-beda.
Ajaran-ajarannya pada dasarnya adalah sama. Yang menjadi perbedaan diantara ajaran-ajaran para nabi adalah hanya pada hal-hal teknis, furu (cabang), bukan secara subtansial (ushuliyah). Seluruh nabi mengajarkan tauhid, keimanan kepada allah dan hari akhir, berbuat baik terhadap sesama. Persamaan ajaran para nabi ini hanya bisa dijumpai pada hal yang terdapat dari syariat, yakni tasawuf, bukan fiqh.
Jika demikian, tidak ada alasan teologis untuk tidak membangun hubungan yang baik antar sesama pemeluk agama. Inny tawakkaltu alallahi rabby warabbakum ma min dzabbatin illa huwa akhidun binashiyatiha, inna rabby ala kulli syain qodir.