Dalam sejarahnya, Pancasila ditetapkan sebagai ideologi bangsa tidak terlepas dari musyawarah yang melibatkan oleh umat muslim. Awalnya, Tim 9 (sembilan) perumus dasar negara yang terdiri dari Soekarno, Muh. Hatta, A.A. Maramis, KH A. Wachid Hasyim, Abdul Kahar Muzakkir, Abikusno Tjokrosujoso, H. Agus Salim, Ahmad Subardjo dan Muh. Yamin, merumuskan “Ketuhanan, dengan Kewajiban Menjalankan Syari’at Islam Bagi Pemeluk-pemeluknya”. Atas rumusan ini, Mohammad Hatta mengutarakan aspirasi rakyat Indonesia bagian Timur yang mengancam ingin memisahkan diri dari Indonesia jika poin “Ketuhanan” tidak diubah esensinya. Setelah berdiskusi dengan para tokoh muslim, di antaranya Ki Bagus Hadikusumo, KH. Wahid Hasyim, dan Teuku Muh. Hasan, ditetapkan bunyi poin pertama Piagam Jakarta yang selanjutnya disebut Pancasila dengan bunyi “Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Oleh tokoh muslim, upaya penggantian bunyi teks dalam salah satu sila Pancasila ini tidak terlepas dari kaidah fiqih, “Dar’u al-mafaasidi aula min jalbi al-mashalihi (menghilangkan kemadharatan itu lebih didahulukan daripada mengambil sebuah kemaslahatan).” Lebih-lebih, penggantian kalimat tersebut justru akan mendorong terjadinya kemaslahatan umum bagi seluruh masyarakat Indonesia.
Bagi umat muslim, bunyi teks sila pertama dalam Pancasila tidak menghalangi peribadatan. Pada tanggal 1 Juni 1945, Sukarno pernah berpidato, “Prinsip Ketuhanan! Bukan saja bangsa Indonesia bertuhan, tetapi masing-masing orang Indonesia hendaknya bertuhan Tuhannya sendiri. Yang Kristen menyembah Tuhan menurut petunjuk Isa al Masih, yang Islam bertuhan menurut petunjuk Nabi Muhammad SAW, orang Buddha menjalankan ibadatnya menurut kitab-kitab yang ada padanya.”
Bermula dari sinilah, Pancasila untuk muslim Indonesia dirasa sudah sangat tepat. Dengan ideologi Pancasila, umat muslim Indonesia bisa beribadah sesuai dengan al-Qur’an dan hadist. Bahkan, dengan ideologi Pancasila, umat muslim bisa mengamalkan jalinan sosial (muamalah) dengan pemeluk agama lain dengan baik sebagaimana yang dicontohkan Nabi Muhammad SAW saat berada di Madinah.
Wallahu a’lam.