Islam adalah agama yang sangat toleran terhadap keberagaman, bahkan tanpa kita mengkampanyekan Islam toleran sekalipun. Sejak zaman Rasulullah SAW, Islam sudah sangat jelas toleransinya. Sebut saja beberapa bukti toleransi itu, di antaranya adalah Perjanjian Hudaibiyah. Sehingga orang-orang yang tidak toleran sebenarnya telah melenceng jauh dari jalur berislam itu sendiri.
Keberagaman di internal umat Islam juga sangat banyak, seringkali itu yang menyebabkan berbagai perdebatan terkait akidah atau tafsir. Misalnya akidah Asy’ariyah dengan Wahabbiyah, Sunni dengan Syiah, atau tafsir antara Madzhab Syafi’i dengan Madzhab Maliki, dan lain sebagainya.
Artinya, di dalam internal Islam sendiri juga ada keberagaman. Kita harus tetap teguh dan kokoh terhadap iman dan akidah kita, tak apa sesekali mengkritik akidah yang lain untuk memperkuat keimanan kita, tetapi jangan sampai mencela. Sebab kebenaran mutlak tidak berada di tangan manusia.
Begitu juga sikap kita terhadap agama-agama lain. Sudah sepatutnya kita menghargai keberadaan mereka, menghargai keyakinan serta keimanan mereka. Tak perlu mengolok sesembahan siapapun, sebab Allah SWT sendiri memerintahkan umat Islam supaya tidak mengolok sesembahan umat agama lain demi kenyamanan bersama.
Terlebih di Indonesia dengan kehidupan yang sangat beragam, jika kita memaksakan saklek satu keyakinan atau satu agama saja, tentu yang akan terjadi adalah beragam perang dan permusuhan. Tak baik menyamakan apa yang berbeda dan membedakan apa yang sebetulnya sama.
Kita perlu mengembalikan semuanya kepada bunyi Al-Qur’an Surah Al-Kafirun: Untukmu agamamu, dan untukku agamaku.
Kalau kata teman-teman di Jaringan Gusdurian, “Untukmu agamamu, untukku kau saudaraku.”
Baca Juga: Memahami 5 Fungsi Puasa di Bulan Ramadan yang Memerdekakan dan Mempersatukan