Khilafah Membuka Ruang Kontroversi
Justru prinsip yang berlaku dalam hal ini adalah ijtihad karena tidak adanya teks. Dan karenanya, masalah khilafah terus membuka ruang kontroversi dan perselisihan. Jika perselisihan pada masa pemerintahan Abu Bakr dan Umar dapat diselesaikan secara damai dan positif, maka perselisihan di akhir masa pemerintahan Utsman ibn Affan meningkat menjadi perpecahan dan peperangan, yang berujung pada penghasutan untuk membunuh khalifah.
Setelah itu terjadi perang saudara yang sengit (Perang Jamal dan Shiffin), yang kemudian memunculkan apa yang disebut “pemerintahan dinasti” yang dibangun oleh Bani Umayyah dan Bani Abbas.
Baca juga: Ngaji Kitab “Al-Islâm wa Ushûl al-Hukm”
Di dalam buku “Naqd al-‘Aql al-Siyâsîy al-‘Arabîy”, mendiang Prof. Dr. Muhammad Abid al-Jabiri mengatakan bahwa kalau kita ingin mengambil pelajaran politik dari peristiwa pembunuhan Utsman, itu harus dikatakan bahwa apa yang terjadi—dalam ungkapan modern—adalah akibat dari kekosongan konstitusional dalam sistem pemerintahan yang muncul setelah wafatnya Nabi.
Kekosongan ini dibuktikan dengan tidak adanya suatu sistem untuk memilih penguasa, di mana setiap khalifah dipilih dengan cara yang berbeda dari yang lain, terutama al-Khulafa` al-Rasyidun, juga tidak adanya ketentuan tentang masa jabatan khalifah, serta tidak adanya ketentuan-ketentuan khusus bagi khalifah yang bersifat absolut dan tidak terbatas.
Umar ibn al-Khattab secara tersirat menolak dipanggil dengan sebutan “Khalifah”, dan ia lebih suka dipanggil dengan sebutan “Amirul Mukminin” (pemimpin kaum beriman).
Semua surat yang ia kirim kepada para gubernurnya dan kepada para raja di luar wilayah kekuasaannya tidak ada yang mencantumkan kata “Khalifah”, sehingga para pemimpin setelahnya terbiasa dibaiat dengan sebutan “Amirul Mukminin”.
Gelar khalifah sempat hilang dari peredaran ketika Hulagu berhasil membunuh khalifah terakhir Bani Abbas. Dan di dalam cacatan sejarah, para sultan Bani Utsman tidak ada satupun yang menyandang gelar “Khalifah”.
Gelar Khalifah pada masa Dinasti Utsmaniyah
Sultan Dinasti Utsmaniyah pertama yang menyebut dirinya “Khalifah” adalah Abdul Hamid II (1876 – 1909 M), dan khalifah terakhir adalah Abdul Majid II sebelum Ataturk menghapus kekhalifahan.
Rekonstruksi pemikiran politik di dalam Islam, sebagaimana dikatakan oleh Prof. Dr. Muhammad Abid al-Jabiri, harus berangkat dari akar-akar yang membentuk model yang mungkin dapat ditarik dari fase dakwah Nabi “Sedang urusan mereka [diputuskan] dengan musyawarah antara mereka” dan “Kamu tahu lebih banyak tentang urusan duniawimu” dengan mengisi kekosongan konstitusional yang menyebabkan terbunuhnya Utsman ibn Affan yang konsekuensinya masih kita rasakan hingga saat ini.
Tidak diragukan lagi bahwa sebagian dari mereka yang menulis tentang pemikiran politik Islam masih banyak dipengaruhi teori-teori al-Mawardi dan para ahli fikih, dan itu adalah pandangan-pandangan tidak mengikat yang muncul dalam situasi politik tertentu, sehingga tidak bisa dianggap merepresentasikan pandangan Islam.
Sebagaimana dijelaskan di atas, tidak ada teks syariat dari al-Qur`an dan Sunnah yang mengatur masalah pemerintahan, dan karenanya hal itu masuk dalam masalah ijtihadiyah yang harus tunduk pada keadaan setiap zaman.
Sebagian besar hadits politik yang dinisbatkan kepada Nabi dan dicatat berabad-abad setelahnya, adalah hadits-hadits dha’îf (lemah) dan mawdhu’ (palsu) yang sengaja dinisbatkan kepada Nabi untuk melegitimasi pendapat-pendapat berbagai pihak yang bersaing untuk mendapatkan kekuasaan di tengah-tengah perpecahan politik yang tajam di kalangan masyarakat Muslim.
Kesimpulannya, khilafah bukanlah bagian dari Islam sebagai risalah dan Islam sebagai agama, tetapi merupakan bagian dari Islam historis yang dirancang sebagai sistem pemerintahan tanpa institusi-institusi yang menjamin keberlangsungannya. Keberlangsungannya hanya bergantung pada kekuatan penguasa dan kepiawaian pribadinya.