Islamina.id – DI dunia Islam, dasar agama atau ideologi kelompok-kelompok teroris meluas sepanjang sejarah sejak masa-masa awal kemunculan Islam pada abad ke-7 Masehi. Islam, seperti agama Kristen enam abad sebelumnya, dan Yahudi delapan abad sebelumnya, muncul di Timur Tengah dengan suku-suku yang mempunyai watak sangat keras yang kerap menggunakan cara-cara kekerasan untuk menyelesaikan masalah antarsuku.
Selama bertahun-tahun, Islam telah menyebar di wilayah yang luas, berhadapan dan beradaptasi dengan berbagai masyarakat, agama, dan budaya. Karenanya, dalam banyak kasus, dari segi praktik, dengan berbagai cara, Islam tidak bisa menghindarkan diri dari perubahan sehingga menjadi lebih pragmatis dan toleran.
Bagi seorang muslim garis keras, praktik-praktik semacam ini dipandang telah menyimpang dari jalan yang lurus. Akibatnya, selama bertahun-tahun terjadi benturan pandangan dan pemikiran. Dan orang-orang yang dengan lantang menyerukan agar kembali kepada “kemurnian” Islam sebagaimana di masa-masa awal kemunculannya harus membayar mahal.
Baca juga: Mencegah Ekstremisme dan Terorisme
Sarjana Muslim terkemuka, Imam Ahmad ibn Hanbal (780-855 H), pendiri satu dari empat mazhab Sunni dalam yurisprudensi Islam, dipenjara dan dipukuli dengan cambuk sampai pingsan karena berselisih pendapat dengan Al-Ma’mun, seorang khalifah Dinasti Abbasiyah di Baghdad. Hampir lima abad kemudian, seorang imam terkemuka dari mazhab yang sama, Imam Ibn Taimiyah (661-728 H), meninggal di penjara di Damaskus pada masa Khalifah Nashir Qalawun.
Imam Ahmad ibn Hanbal dan Imam Ibn Taimiyah dianggap sebagai “bapak spiritual” bagi para pemikir yang datang setelahnya dan juga bagi gerakan-gerakan yang belakangan dikenal sebagai “mazhab Salafi” yang menyerukan untuk kembali ke jalan al-salaf al-shâlih (para leluhur yang saleh).
Kedua tokoh tersebut mempengaruhi tokoh lain yang datang setelahnya. Pemikiran dan tulisan-tulisan keduanya membawa dampak yang luar biasa dan terus-menerus di dunia Islam khususnya gerakan Salafi, salah satu bentuknya adalah Wahabiyah yang diberi nama sesuai dengan nama tokoh tersebut.
Muhammad ibn Abdil Wahab lahir pada 1701 M di sebuah desa kecil di wilayah Najd, di jantung semenanjung Jazirah Arab. Ia adalah seorang sarjana Muslim yang taat, mengadopsi pandangan yang lebih kaku dan ketat tentang apa yang dilihatnya sebagai akidah asli. Ia berusaha mengembangkan dan menyebarkannya dengan memanfaatkan kekuatan politik dan militer.
Upaya pertama dalam menyebarkan keyakinannya adalah membongkar kuburan Zaid ibn al-Khattab, salah seorang sahabat Nabi Muhammad Saw., dengan dalih bahwa asketisisme yang mengajarkan pemuliaan terhadap kuburan itu merupakan perbuatan syirik yang bertentangan dengan akidah salafiyah, termasuk pengkultusan sesuatu atau orang selain Allah.
Pada 1744 M, Muhammad ibn Abdil Wahab melakukan perjanjian bersejarah dengan penguasa lokal Muhammad ibn Saud dalam bentuk piagam untuk menjadikan dakwah wahabiyah sebagai dasar religius atau intelektual dalam ekspansi politik dan militer Saudi—dan itu untuk kepentingan kedua belah pihak.
Perjanjian tersebut, yang telah mengalami banyak amandemen sehingga mencakup sebagian besar semenanjung Jazirah Arab dan berlanjut hingga hari ini dengan melewati beberapa periode yang sulit, menuntut keluarga Saud agar berjalan seiring dengan lembaga keagamaan Wahabiyah yang sangat ekstrem. Munculnya Salafiyah-Wahabiyah di Arab Saudi, yang didukung dengan dana besar dari Kerajaan Arab Saudi, telah menyediakan lahan subur bagi pertumbuhan ekstremisme kekerasan di wilayah Arab pada zaman modern.
Slogan yang diangkat Muhammad ibn Abdil Wahab dalam penyebaran pemikirannya adalah “menghidupkan kembali Al-Qur`an dan Sunnah, tidak bergantung pada empat mazhab yang dianut mayoritas umat Muslim”. Dengan slogan ini golongan Wahabiyah menghancurkan semua kuburan dan makam shahabat dan wali, juga masjid-masjid yang di dalamnya terdapat ukiran dan ornamen.
Kemudian, pada tahun 1801 M, mereka pergi ke Karbala dan menghancurkan kubah makam Husain ibn Ali ibn Abi Thalib. Tetapi pada tahun 1818 M pasukan Mesir yang dipimpin oleh Ibrahim Pasha berhasil mengepung ibukota negara Wahabi. Abdullah ibn Saud, pemimpin penganut Wahabi saat itu, tertangkap, dibawa ke Istambul, dan pada tahun 1819 ia dihukum gantung di sana sebagai pimpinan pemberontakan.
Baca juga:Peran Ormas Sipil dalam Mencegah Ekstremisme dan Terorisme