Fatimah dan Ali barangkali adalah Lex Spesialis, khususiyah yang tak dapat disusul dalam kasus syarifah yang menikah dengan laki-laki biasa.
Ayat ini turun ketika Nabi S.A.W bermubahalah dengan kaum Nasrani, yang menyertakan Ali, Fathimah, Hasan, dan Husen dalam jubah atau kain kisa.
Ketika Nabi memproklamirkan Fatimah sebagai garis keturunanya, ini adalah kemajuan luar biasa pada budaya yang sangat patriarkhi.
Eksklusivisme Nasab
Kenyataannya Lex spesialis memang tidak berlaku untuk dzurriyah ke bawah. Seorang Syarifah yang merupakan keturunan Nabi ke 37, mengalami pergumulan batin yang luar biasa. Dari soal pendidikan maupun kemerdekaan memilih jodoh hingga keteladanan dari keluarga yang adil gender. Perempuan, sebagaimana yang ia tuturkan kepada penulis, ranahnya adalah domestik. Karena itu meskipun ia belajar sampai menyeberang keluar pulau ketika SMA, yang ditempuhnya itu adalah hanya bekal untuk mengabdi kepada sayyid (yang kelak akan jadi pendampingnya) dan keluarga. SMA merupakan usia-usia akil baligh, maka pesan kuat yang ia terima dari orang tuanya adalah jangan sampai ketemu dan menikah dengan non sayyid !. sebab itu akan memutuskan keluarga, sekaligus hilangnya marga Assegaf.
Barangkali ini adalah harapan setiap orang tua yang menginginkan jodoh yang sebanding atau kufu. Habib Mundzir al-Musawa almarhum mengutip kalangan Syafiiyah mengatakan bahwa pernikahan antara syarifah dengan yang bukan adalah tidak kufu sebagaimana tidak kufunya perkawinan antara orang miskin dan kaya. Padahal Habib dan Syarifah adalah orang yang diminta menjaga keturunan Rasulullah sebagaimana mereka pahami dalam salah satu ayat;
Katakanlah wahai Muhammad, aku tak meminta pada kalian upah bayaran atas jasa ini, terkecuali kasih sayang kalian pada keluargaku” (QS. As-syuura: 23).
Tapi, siapa yang dapat menolak hati dan perasaan? Usai SMA, sang Syarifah sebenarnya mendapatkan kemerdekaan untuk melanjutkan studinya, kuliah. Dalam dunia yang benderang karena memungkinkannya bertemu dengan berbagai komunitas yang disandangnya. Ia belajar tentang kesetaraan, keterbukaan pandangan, dialog antar iman dan hal-hal baru lain.
Banyak sisi kehidupan yang tentu saja menyergap perasaan hatinya tanpa kenal nasab dan strata sosial. Namun perasaan tak mengenal sekat dan ter-hijabi, begitu juga pesan inti ayahnya untuk hanya menikah dengan seorang Sayyid, habib. Pada perjalanan hidupnya itu, ia memutuskan menikah dengan seorang Jawa non sayyid. Tak ada dialog, ia auto keluar dari garis keluarga sayyid. Beda dengan Fatimah Az Zahra yang mendapat Lex Spesialis, meksipun itu dzurriyahnya, syarifah ini tak bisa mewacanakan dalam ruang keluarga. Ayahnya tetap tegas untuk tidak menjadi walinya dan tidak terlibat dalam proses-proses hidup baru. Lewat sebuah proses yang menyakitkan di pengadilan, ia menikah dan mendapatkan wali mujbir.
Ibunya adalah satu-satunya keluarga yang hadir. Keberadaan ibunya ketika ia menikah pun tak luput dari intimidasi, bapaknya. Sang Ibu adalah orang yang paling dekat dengannya. Seorang yang muthiah dan qana’ah, menerima segala perlakuan suaminya, seorang sayyid yang sangat patriarkhi, dan membalas kesetiaan total ibunya dengan poligami. Sejak kecil, sang Syarifah ini selalu bertanya atas watak dan kriteria ayahnya. Kuat kemungkinan menurut penulis, ia bukan role model untuk menjadi teladan. Meski selalu ada sisi sisi kemanusiannya yang baik. Yang baik ini tak mampu membendung sang syarifah untuk menjadikan pijakan memilih dan mencari Sayyid sebagai pendampingnya kelak.
Dengan pergaulan dan pengetahuan yang membukakan mata hatinya termasuk bertemu dengan korban-korban budaya yang patriarki, perlakuan yang diskriminatif dan seksis, ia menyelami kehidupan. Ia membantu menolong mereka tidak dalam wacana saja tapi juga dalam pendampingan aktif. Ia membalikkan dari sosok yang ekslusif menjadi pribadi yang inklusif.
Kebahagiannya tentu bertambah ketika wacana-wacana itu bisa ia transfer kepada ibunya dan menjadikannya perempuan berdaya. Sang syarifah memposisikan diri sebagai manusia di hadapan Tuhan di mana hanya takwalah yang membedakan. Atas semua konsekuensi itu, ia terlempar dari kehidupan keluarga besarnya dan anak-anaknya tak boleh melekatkan nama ke-habibannya.
Tentu saja tak semua syarifah mengalami pergumulan pemikiran dan memilih kehidupannya sendiri. Ada banyak kita melihat mereka memikili pasangan dari golongan ningrat yang sama dan mempunyai anak-anak sebagai cucu Rasulullah. Bahwa mereka meneladani atau tidak akhlak “kakeknya” publiklah yang menilai, termasuk pandangan pandangan keislaman dan afiliasi politiknya. Suka tidak suka mereka adalah ahlul bait dan menurut Imam Syafii dalam salah satu syairnya; Hubbun ilal bait fardh min Allah.
Baca Juga: Menyelamatkan Habib di Nusantara | Bulletin Islamina Vol. 1/No. 4