NU dan Muhammadiyah, keduanya dipandang sebagai sepasang sayap yang akan mengawal dan membawa bangsa ini terbang menuju kehidupan masyarakat yang di idam-idamkan ditengah-tengah kontestan variatif konfigurasi Islam di Indonesia.
Akhir-akhir ini telah tampak sekali tragedi percaturan sekaligus pertarungan dalam wacana dan aksi Islam Indonesia. Perkembangan wacana keislaman sejak 1970-an hingga sekarang terus terjadi dan menemukan puncaknya.
Berawal dari kondisi sosial Indonesia yang majemuk, muncullah beragam varian konfigurasi Islam yang mengatasnamakan diri dan berusaha membawa perubahan terhadap negara ini dengan jargon yang mereka kehendaki. Namun di satu sisi terdapat dua organisasi besar yang siap mengawal tanah air tercinta dengan empat pilar nya. Pancasila, NKRI, UUD 1945 dan Bhinneka Tunggal Ika.
Nahdlatul ulama (NU), merupakan satu dari dua organisasi keagamaan terbesar di Indonesia itu, didirikan pada tanggal 16 Rajab 1344 H (31 Januari 1926 M) di Surabaya tujuan didirikannya adalah berlakunya ajaran Islam Ahlussunnah Wal Jamaah (Aswaja) dan menganut salah satu mazhab empat. Organisasi keagamaan yang secara konstitusional membela dan mempertahankan Aswaja, dengan disertai batasan yang fleksibel sebagai organisasi sosial keagamaan (Jam’iyah Diniyah wal Ijtima’iyah). Sama halnya dengan Muhammadiyah, organisasi ini tidak jauh berbeda dalam hal filsafat maupun dasar teologi nya hanya saja lebih bersifat modern dan Pembaharuan.
Keduanya dipandang sebagai sepasang sayap yang akan mengawal dan membawa bangsa ini terbang menuju kehidupan masyarakat yang di idam-idamkan ditengah-tengah kontestan variatif konfigurasi Islam di Indonesia.
Banyaknya aliran, faham, dan gerakan Islam yang terus bermunculan di Indonesia merupakan respon masyarakat dari keanekaragaman budaya, ras, suku, etnis, agama, dan golongan yang ada di Indonesia. Pada tingkat tertentu keanekaragaman tersebut bahkan telah menimbulkan ketegangan-ketegangan serta kekerasan yang mengatasnamakan agama atau mungkin klaim “takfir” terhadap kelompok yang berbeda dengan dirinya.
Seorang ahli hukum Islam kontemporer asal University of California, LA, Allah Khaleed Abou ef-Fadhl, penulis buku Speaking ain the God’s Name, ketika berada di Indonesia pada tahun 2011, menyatakan bahwa pemahaman keagamaan yang otoriter disebabkan karena adanya klaim otoritatif atas teks agama sehingga orang lain yang berbeda pendapat dianggap sebagai orang yang sesat, perlu dibasmi, dan diimankan kembali. Padahal pemahaman seperti ini sebenarnya merupakan sebuah pemahaman yang sangat dangkal produktif dan membonsai agama. Agama menjadi sekadar legitimasi kekerasan karena ketakutannya akan kehilangan otoritas dan Kharisma keagamaan.
Bahkan akhir-akhir ini muncul kelompok ekstremis yang mencoba merebut bangsa ini dengan ideologi nya. Mereka dengan serta merta ingin mengganti Ideologi Pancasila dengan ideologi nya serta menjadikan Indonesia sebagai negara Islam yang harus sesuai dengan asal mula agama tersebut. Memang hal ini tampak aneh mereka adalah pendatang baru bukan seperti halnya NU dan Muhammadiyah yang memang dari awal mempunyai peran besar dalam kemerdekaan bangsa ini.