Kemudian, apa benar perkembangan demokrasi di suatu negara akan mengalami kemunduran jika perhelatan politik yang bernama Pemilu pelaksanaannya mengalami penundaan? Hal ini perlu dilihat lebih dalam tentang demokrasi itu sendiri. Prinsip yang paling ditekankan oleh demokrasi adalah rakyat. Kehendak rakyat: aspirasi, partisipasi, menjadi referensi utama dari setiap tindak tanduk rezim yang berkuasa. Robert Dahl (1999), David Beetham dan Kevin Boyle membeberkan sejumlah alasan mengapa demokrasi perlu didukung. Pertama, bahwa dengan demokrasi, hak-hak dasar individu bisa lebih terjamin yang mungkin tidak dapat diberikan oleh sistem lain. Kedua, memenuhi kepentingan umum. Selain itu, demokrasi juga menghendaki adanya kedaulatan rakyat. Karena itu sebagai manifestasi dari kedaulatan rakyat, negara demokrasi dibutuhkan tegaknya rule of law, dan Pemilu sebagai syarat prosedural.
Kebutuhan hak-hak dasar manusia selain sosial, ekonomi, dan politik, kesehatan juga termasuk dan hal yang paling utama. Menurut UU No. 36 Tahun 2009, kesehatan adalah keadaan sehat baik secara fisik, mental, dan spiritual maupun sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis. Kesehatan juga mendukung keberhasilan dalam pembangunan nasional. Dalam suasana pandemi ini, kesehatan masyarakat menjadi ujung tombak dari setiap kemungkinan pencegahan atau penyebaran positif covid-19.
Produk politik Pemerintah untuk melanjutkan Pilkada nampaknya dapat dikategorikan sebagai kebijakan yang tidak populer. Sebab, sebelumnya masyarakat diminta untuk menjaga kedisiplinan: wajib masker, jaga jarak, #dirumahaja, PSBB, dilarang berkumpul tapi di sisi lain membuka peluang untuk melahirkan kerumunan yang sebelumnya sangat dilarang. Keputusan ini diasumsikan oleh Pemerintah sebagai instrumen untuk menjaga hak konstitusi masyarakat, dan menghindari kepemimpinan yang tidak terlegitimasi oleh masyarakat. Perhelatan politik yang identik dengan kerumunan massa ini juga dianggap sebagai event gerakan melawan covid-19, jika protokol kesehatan juga ketat diterapkan sebagaimana yang disebutkan oleh Ditjen Otonomi Daerah Kemendagri, Bapak Akmal Malik. Hal ini juga akan berkaitan dengan berapa biaya protokol kesehatan yang akan dibebankan oleh Pemerintah, atau daerah.
Masalahnya, menurut salah satu poin yang jadi sikap oleh DPD-RI sebagai landasan terhadap penundaan pelaksanaan Pilkada adalah, bahwa disiplin masyarakat terhadap ancaman covid ini masih minim. Lalu, bagaimana efektifitas aturan yang dibuat untuk menunjang pelaksanaan Pilkada dengan antisipasi pencegahan covid di tengah masyarakat? Akankah para kandidat, dan pendukungnya bisa dijamin dengan disiplin terhadap protokol kesehatan? Inovasi teknologi seperti kampanye virtual menjadi terobosan baru yang nampaknya menjadi fardlu ‘ain dimiliki oleh kandidat dan segenap pendukungnya.
Keunikan yang dilakukan oleh Pemerintah inilah menjadi sorotan, dan mendapat feedback, kritikan, serta desakan (demand) dari masyarakat untuk segera menunda pelaksanaan Pilkada. Kebijakan ini dinilai tidak memperhatikan keadaan yang terjadi masyarakat, mengingat kasus terjangkit positif covid meningkat setiap harinya dan belum ada tanda-tanda landainya angka penurunan. Jika Pilkada diteruskan, potensi klaster baru penyebaran positif covid diprediksi akan bermunculan. Belum lagi asumsi-asumsi yang berkembang di masyarakat atas dilanjutnya pelaksanaan Pilkada ini, seperti Pilkada kepentingan siapa? Siapa inputnya? Dinasti politik, ancaman resesi, pandemi covid sebagai komoditas politik dan sebagainya ini membuat konsentrasi Pemerintah menjadi pecah untuk membendung badai pandemi. Hal ini akan semakin “ruwet” jika akhirnya terjebak dalam konflik kontraproduktif.
Lagi-lagi, dalam negara demokrasi, siapapun tokoh atau kelompok dapat memberikan masukan (Input) apapun kepada pemerintah sebagai pembuat kebijakan (output) untuk kemashlahatan bersama. Hanya saja, Pemerintah bisa mengabaikan atau merespon positif, yang menurut M. Alfan Alfian tergantung sejauh mana skala prioritas yang diyakini olehnya, dengan catatan bahwa sejatinya Pemerintah dalam negara demokratis bukanlah entitas yang tidak bisa salah. Hal inilah yang menurut John S. Dryzek (2000) atas kritiknya terhadap perilaku demokratis, bahwa para wakil-wakil terpilih cenderung sengaja membuat kebijakan yang menguntungkan konstituennya sendiri dengan mengorbankan kepentingan umum.
Walhasil, keraguan dan bahkan ketidakpercayaan atas sikap Pemerintah oleh masyarakat menjadi fluktuatif dan sebagai resiko yang bisa dirasakan. Ujian yang akan dialami oleh Pemerintah di masa pandemi adalah sejauh mana kebijakan yang diambil sangat direspon efektif oleh masyarakatnya. Selain itu, anggapan bahwa harus ada dikotomi pilihan bagi pemerintah untuk “pilih kesehatan fokus pencegahan covid atau pilih keberlangsungan demokrasi?”, dan jika ada ungkapan “menunda Pilkada maka perkembangan demokrasi akan mengalami kemunduran”, ini menurut penulis kedua ungkapan tersebut adalah keliru. Tidak perlu khawatir, karena sejatinya demokrasi adalah memenuhi kebutuhan dasar warga negara, salah satunya yakni memenuhi hak kesehatan masyarakat sebagai kemashlahatan umum. Tanpa ada kesehatan, demokrasi prosedural tidak akan pernah ada artinya. Dalam pandemi yang tidak menentu ini, juga ada etika politik demokrasi yang perlu diperhatikan, tidak boleh ada yang “main api”, maka seyogyanya semua perangkat politik pusat maupun daerah harus berorientasi kepada asas kemanusiaan.
Penulis: M. Rohim Hidayatullah, S.I.P., M.Sos.
Editor: Syahril Mubarok