Jadi menurut saya pribadi, Islam yang berkembang di Indonesia merupakan Islam yang humanis. Maka penerapannya pun harus sesuai dengan ciri masyarakat muslim yang ada di Indonesia, karena jika yang diterapkan seperti Islam yang berkembang di Timur Tengah akan banyak muncul potensi konflik dan dapat berujung perpecahan yang disebabkan oleh majemuknya masyarakat Indonesia ini. Maka dapat disimpulkan bahwa watak atau wajah Islam di Indonesia lebih moderat jika dibandingkan dengan karakteristik Islam di daerah lain terutama di kawasan Timur Tengah, yaitu di Indonesia memiliki karakter yang lebih damai, ramah, dan toleran. Hal tersebut memang terjadi karena penyebaran Islam yang damai dan mengakomodir dengan budaya atau kepercayaan lokal masyarakat Indonesia yang lebih dulu sampai dan dipercaya.
Islam yang ada di Indonesia secara garis besar mempunyai karakter hasil interaksi dari nilai-nilai Islam teologis dengan tradisi lokal Indonesia sendiri atau bisa disebut juga Islam yang substansi dan penerapannya hanya terjadi di wilayah Indonesia dalam bentuk pertautan wahyu dan budaya Indonesia. Hal ini selaras dengan apa yang dikemukakan oleh salah satu pemikir Muslim “Islam Nusantara adalah Islam yang khas ala Indonesia, gabungan nilai Islam teologis dengan nilai-nilai tradisi lokal, budaya, adat istiadat di tanah air.” (Bizawie dalam Sahal & Aziz, 2015: 239).
Sehingga karena wajah Islam yang ada di Indonesia memiliki karakteristik yang menarik (damai, ramah, dan toleran) dapat diprediksi akan menjadi pelopor bagi bangkitnya Islam secara umum. Maka dapat saya ambil benang merahnya bahwa Islam yang relevan dengan masyarakat Indonesia yang plural adalah Islam yang menjadi ciri khas Islam di Nusantara, yaitu Islam yang damai, ramah, dan toleran yang sulit untuk ditemukan di negara-negara lain.
Sementara dari hal tersebut, Islam yang ada di Indonesia (Nusantara) juga dikembangkan sebagai upaya untuk mempertemukan Islam dengan budaya lokal. Sebagaimana pernyataan K.H. Abdurrahman Wahid atau yang kerap disapa Gusdur bahwasanya “Islam datang bukan untuk mengubah budaya leluhur kita jadi budaya Arab, bukan untuk ‘aku’ jadi ‘ana’, ‘sampean’ jadi ‘antum’, ‘sedulur’ jadi ‘akhi’. Pertahankan apa yang jadi milik kita, kita harus serap ajarannya bukan budaya Arabnya”.
Baca Juga: Islam Antara Tradisi dan Realitas Zaman