Perdebatan di kalangan umat tentang apakah Islam menyokong Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), Pancasila, serta kebhinekaan masih sering mengemuka. Sebagian kelompok secara tegas menolak kehadiran NKRI dan Pancasila, sebagian lainnya memberikan dukungan penuh. Argumen dari masing-masing kelompok sama-sama bersumber dari rujukan utama dalam Islam, yaitu al-Qur’an, Hadist ditambah dengan catatan sejarah Islam, terutama era khulafaurrasyidin.
Sebagaimana yang termaktub dalam surat al-Hujarat bahwa manusia itu berbangsa-bangsa—tidak tunggal–, maka kebhinekaan ini adalah bagian dari sunnatullah dan kekuasaan Allah dan dimaksudnya agar tercipta interaksi, saling mengenal dan melakukan kerjasama dengan baik. Allah berfirman
وَمِنْ آيَاتِهِ خَلْقُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافُ أَلْسِنَتِكُمْ وَأَلْوَانِكُمْ ۚ إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَآيَاتٍ لِلْعَالِمِينَ
Artinya: Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah menciptakan langit dan bumi dan berlain-lainan bahasamu dan warna kulitmu. Sesungguhnya pada yang demikan itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang mengetahui” (QS.30. 22).
Bahkan, di Jazirah Arab, sebagai tempat turunnya Islam, ada berbagai macam budaya, etnis dan agama. Di wilayah Arab ada beberapa komunitas Yahudi yang hidup terpencar-pencar, dan beberapa orang sekurang-kurangnya disebut Kristen, serta beragam kepercayaan lainnya. Kedatangan Islam dengan berpegang pada kitab suci al-Qur’an ke muka bumi ini tidak lain untuk memberi petunjuk (QS. 2:185, 6:71, 7:52, 16;89) kepada segenap manusia. Tujuan adanya syariat ini dalam kajian Ushul Fiqh disebut dengan Maqashid al-syariah. Menurut al-Syatibi bahwa sesungguhnya tujuan syariat tidak lain keculi untuk kemaslahan manusia baik di dunia maupun di akhirat (
Karena Islam hadir dalam aneka spektrum budaya dan agama yang berbeda-beda, maka persinggungan dan dialektika di antaranya adalah sebuah keniscayaan. Karena itulah, respon terhadap keragaman ini bukan saja dapat dilacak dalam pola dan model hubungan Nabi Muhammad dengan agama lain melainkan ditemukan dalam sejumlah ayat al-Qur’an.
Secara praktis, rasa hormat Muhammad terhadap tradisi al-kitabiyah (Nasrani dan Yahudi) dipertontonkan dalam ajarannya bahwa selama berdoa seseorang harus menghadap ke Yerussalim, Bait al-Maqdis. Muhammad memerintahkan perubahan arah kiblat ke Mekkah ketika komunitas Yahudi menolak untuk menerima Muhammad sebagai pemimpin tunggal dari satu komunitas Arab (Coward, 1989). Dalam sejarah Islam, selama memerintah di Madinah Muhammad tidak pernah memaksa masyarakat non-muslim untuk mengikuti agama penguasa (Islam). Bahkan, melalui perjanjian di antara semua penduduk Madinah ditetapkan dasar-dasar toleransi demi terwujudnya perdamaian dan kerukunan (Rahman B. M., 2001). Untuk itu — Islam sebagai agama dakwah — tidak boleh tidak harus bisa memahami dan mempelajari agama lain (other religions) atau ahl Kitab.
Sebagai pelaksana al-Qur`an di lapangan, Muhammad SAW pernah memberi tauladan yang sangat inspiring. Sejarah mencatat, Nabi pernah mendapat ancaman eks-komunikasi hingga ia eksodus ke Madinah. Ia hijrah ke Madinah untuk beberapa lama dan kemudian kembali lagi ke Mekkah. Peristiwa ini dikenal dalam sejarah Islam dengan fathu Makkah. Dalam peristiwa yang penuh kemenangan ini, Nabi tidak mengambil langkah balas dendam kepada siapapun yang telah mengusirnya dahulu dari tanah Mekkah, tetapi Nabi malah mengatakan antum al-thulaqa’, kalian semua bebas (Abdullah, 2004)
Peristiwa ini seharusnya memberi pesan kuat bagi penganut agama Islam bahwa Nabi telah menjadi sebuah tauladan yang cukup tepat prihal bagaimana bertoleransi baik pada aras praksis maupun konseptual. Bahkan, tanpa di dahului polemik pergumulan filosofis-teologis yang panas, Nabi tidak menuntut truth claim atas nama dirinya. Ia mengambil sikap agree in disagreement (istilahnya H.M. Mukti Ali). Dia tidak mendesakkan agamanya untuk diterima oleh umat agama lain. Di situ Nabi sangat mengakui keberadaan agama-agama lain, selain Islam (Abdullah, 2004).
Salah satu dokumen penting bagaimana nabi menjadi pemimpin komunitas Madinah dapat ditemukan dalam Piagam Madinah. Ilahi dan Hefni (2007) merumuskan beberapa prinsip pokok; 1) Masing-masing komunitas agama harus hidup secara damai dan bebas dalam menjalankan ajaran agamanya masing-masing. 2) apabila terdapat salah satu kelompok yang diserang, maka kelompok ain wajib membantu kelompok yang diserang tersebut. 3) Saling mengingatkan, dan saling berbuat kebaikan serta tidak akan saling berbuat kejahatan. 4) Wajib tolong menolong dalam melaksanakan kewajiban untuk kepentingan bersama, 5) Jika terjadi perselisihan antar komunitas maka dikembalikan kepada nabi Muhammad seagai pemimpin tertinggi.
Lalu, bagaimana jika menyikapi perbedaan di internal umat Islam, seperti di bidang tafsir, fiqh, dan ilmu kalam? Perbedaan diinternal umat Islam ini dapat dibagi ke dalam 1) perbedaan di bidang pokok (ushul), 2) dan perbedaan dibidang cabang (furu’). Bidang pokok ini meliputi akidah, tauhid, termasuk rukun iman, seperti tentang keesaan Allah, keyakinan akan kebenaran al-Qur’an, kepercayaan bahwa nabi Muhammad adalah utusan Allah. Terhadap hal-hal yang sifatnya pokok ini tidak boleh ada perbedaan (ikhtilaf) karena sifatnya muhkam (jelas, penafsiran tunggal), sharih (jelas) dan qath’i (pasti).
Sementara hal-hal apakah seorang muslim wajib mendirikan negara islam, bagaimana tata cara melaksanakan shalat, soal mu’amalah adalah masuk kategori furu’. Terhadap hal-hal yang furu’, Islam sangat menghargai perbedaan karena kata Nabi Muhammad اختلاف امتي رحمة (perbedaan di antara ummatku adalah rahmat). Karena itulah, terhadap hal-hal furu’ (cabang) ini kita tidak diperkenankan untuk mengklaim bahwa pendapat kita paling benar sementara pendapat orang lain salah bahkan sesat dan kafir. Karena dalam soal furu’ (cabang) ruang ijtihad terbuka lebar, dimana para ulama dimungkinkan untuk menggali produk hukum sendiri melalui al-Qur’an dan hadist. Bukankah dalam Islam terdapat beragam tafsir al-Qur’an, ada al-Thabari, Ibn Katsir, Al-Razi, bahkan Quraish Sihab. Imam Syafi’ie sendiri pernah berujar bahwa “pendapat saya benar tetapi dimungkinkan mengandung kesalahan, sedang pendapat orang lain salah tetapi dimungkinkan mengandung kebenaran”
(رأيي صَوابٌ يَحتَمِلُ الخَطأ، و رأيُ غَيري خَطأ يَحتَمِلُ الصَّوابَ).
Dalam konteks negara Indonesia di mana terdapat kebhinekaan dalam bidang agama, ras, suku dan bahasa, negara harus bersikap adil kepada seluruh warga negaranya dengan memenuhi hak dan kewajibannya tanpa membedakan satu kelompok dengan kelompok lain.
Baca Bagian Pertama | Baca Bagian Kedua
Daftar Rujukan
Abdullah, A. (2004). Studi Agama, Normativitas atau Historistas. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Abdurraziq, A. (1925). al-Islam wa Ushul al-Hukm: Bahts fi al-Khilafah wa al-Hukumah. Kairo: Syirkah Mahammiyah Mishriyah.
al-Asfahani, A.-R. (T.th). Mu’jam Mufradat Alfadz al-Qur’an. Beirut: Dar al-Fikr.
al-Asymawi, M. S. (1990). al-Khilafah al-Islamiyah. Kairo: Sina li al-Nayr.