Akan tetapi, lagi-lagi, pada hal ini sangat disayangkan sekali, justru seorang hamba tidak mencapai apa yang sebenarnya yang dilakukan. Malah, lebih parah, masuk dalam ranah transaksional antara dirinya dengan Tuhan. Ibadah, sekali lagi dalam era modern, memiliki orientasi yang sempit hanya pada nilai pahala dan dosa.
Contoh yang dapat kita temukan di kalangan masyarakat adalah adanya ketidak seimbangan antara ibadah personal dan ibadah sosial. Seseorang yang religius, bisa saja memiliki prinsip untuk mengokohkan satu kepentingannya untuk tetap dengan Tuhan. Namun, di sisi lain, dia terperangkap dalam ranah melupakan kondisi sosialnya.
Kecenderungan yang terjadi, di era teknologi yang terus berkembang pesat, adalah masyarakat individu yang memiliki kehidupannya sendiri. Tidak peduli terhadap orang lain, abai terhadap sekitar, dan cenderung mementingkan diri sendiri.
Seseorang yang memiliki nilai religius yang buta, hanya mementingkan satu harapan, bahwa kelak, dia akan bisa bertransaksi dengan Tuhan dengan pahala yang sudah dia dapat dari ibadahnya selama hidup. Namun, pentingkah hal itu jika hubungan sosial, atau seperti yang disebut di atas sebagai ibadah sosial, kita tinggalkan. Seperti apa kita menafsirkan hablum minannas?
Akhirnya, sebagai manusia modern, egoisme diri yang cenderung mementingkan kepentingan pribadi harus ditinggalkan dengan mengambil jarak dari transaksional dengan Tuhan yang sudah menjadi pola pikir kita sejak ini. Bahwa, jika itu tidak seimbang, bukan hanya dengan Tuhan, tapi interaksi kita secara sosial akan rusak. Bukankah amal ibadah kita tidak menjadi penentu modal utama untuk bertemu Tuhan kelak di akhirat?
Seorang pelacur yang hanya memberi minum seekor anjing kehausan bisa diampuni dosa-dosanya. Setidaknya, alegori di atas, yang dinarasikan dengan baik oleh Paulo Coelho, bisa menjadi satu bentuk kesadaran diri untuk melihat, sudah benarkah ibadah sosial kita di masyarakat? Wallahu A’lam.
Baca Juga: Memahami Gagasan Gus Dur tentang Etika Sosial (1)