Di dalam tradisi Islam klasik, banyak contoh yang dapat dijadikan teladan. Misalnya, tentang sikap dua tokoh muslim terkemuka dan sangat dihormati berkenaan dengan masalah dunia, yaitu permasalahan tinggi/mahalnya harga barang (ghilâ` al-as’âr). Dua tokoh yang dimaksud adalah Qadhi Abdul Jabbar al-Muktazili dan Imam al-Baqillani al-Asy’ari.
Qadhi Abdul Jabbar dalam bukunya “al-Mughnîy” melihat bahwa faktor yang menyebabkan tinggi/mahalnya harga barang adalah “sedikitnya barang dengan kebutuhan yang sangat mendesak (syiddah al-hâjah) terhadap barang tersebut. Dengan kata lain, banyaknya orang yang sangat membutuhkannya. Juga dalam menentukan harga barang (tas’îr) kadang-kadang terjadi kecurangan, sehingga membawa kerusakan yang menyusahkan kaum fuqara”, maka “dalam menentukan harga harus adil” demi terwujudnya kesejateraan masyarakat.
Berbeda dengan Imam al-Baqillani yang menegaskan dalam bukunya “al-Tamhîd”, bahwa mahal dan murahnya barang tidak tergantung pada sifatnya, akan tetapi sangat tergantung pada faktor utama, yaitu Allah. “Kalau Allah menciptakan dalam diri semua manusia sifat zuhud terhadap makanan dan menjadikan mereka selalu ingat akan kematian, tentu mereka tidak akan membeli barang-barang tersebut, baik sedikit maupun banyak.” Jadi, walaupun barang itu sedikit, tidak akan mungkin dapat mengangkat harga. Sebab “sesungguhnya semua harga itu datang dari Allah”, dan Dialah yang menciptakan segala sesuatu.
Contoh di atas memperlihatkan dengan jelas kepada kita, betapa kedua pemikir besar tersebut berbeda dalam menafsirkan fenomena duniawi. Qadhi Abdul Jabbar berangkat dengan penafsiran ilmiah-sekuler (al-tafsîr al-‘ilmîy al-‘ilmânîy) dan berpijak pada faktor obyektif alam. Sedangkan Imam al-Baqillani menilai masalah yang sama dengan penafsiran agamis (al-tafsîr al-dînîy) dan berpijak pada faktor luar alam (khârij al-thabî’ah), yaitu Allah. Dari sini, kita dapat menyimpulkan bahwa penafsiran agamis sangat berbeda dengan penafsiran sekuler.
Hanya saja, penafsiran Qadhi Abdul Jabbar di atas sama sekali tidak bertentangan dengan keimanan dan keislamannya. Jadi, pada hakikatnya sekularisme merupakan ekstensi dari rasionalisme, baik dari segi pandangan dan pendekatannya. Barangkali hadits yang berbunyi, “Dalam urusan dunia (profan), kalian lebih faham, lebih tahu,” merupakan penegasan terhadap makna ini. Maka interaksi dengan alam, dan menafsirkannya dalam kondisi riilnya yang obyektif—dalam realitas kehidupan manusia—dengan metode ilmiah sama sekali tidak bertentangan dengan agama dan keberagamaan seseorang.
Intinya adalah, bahwa sekularisme tidak bertentangan dengan agama dan keimanan. Justru akan menjadi pendorong bagi pembaharuan agama selaras dengan perkembangan kehidupan dan realitas yang ada. Selain itu, sekularisme tidak hanya terkait dengan budaya Barat semata, walaupun budaya Barat mempunyai andil cukup besar dalam perkembangannya. Namun sekularisme merupakan tradisi (turâts) manusia klasik yang terkait erat dengan sejarah manusia yang terus berkembang. Oleh karenanya, ia merupakan produk atau buah dari setiap usaha dan pengalaman manusia yang beragam tingkatannya.
Dengan pengertian semacam itu, secara sederhana, sekularisme dapat dipahami sebagai sikap kita dalam menghadapi kenyataan hidup di dunia ini. Apakah kita menerimanya dengan terbuka ataukah kita malah menolaknya. Bila kita menerimanya, maka kita harus berani menanggung segala konsekuensi yang bakal muncul. Sebaliknya, jika kita menolaknya, itu pertanda bahwa kita takut menghadapi kenyataan.