Masyarakat Betawi memegang teguh prinsip Islam. Amaliyah maupun ibadah mereka sangat Islami, dan lebih condong ke aqidah Ahlussunnah wa al-Jama’ah. Menariknya, doktrin politisasi agama di tahun 2017 membawa mereka masuk dalam pusaran korban politik para elite.
Muslim Jakarta tidak dapat dijauhkan dari Ulama. Ketokohan para Habaib dan Kyai, menjadi pegangan kalangan Muslim untuk ‘ijtihad politik’. Tetapi, kalangan para Habaib dan Kyai di Betawi terlalu didominasi oleh kelompok konservatif. Faktor ini dimanfaatkan juga oleh para elite. Pada akhirnya menimbulkan segregasi di antara Ulama Betawi itu sendiri. Ulama terbelah, umat pun ikut terpecah.
Seperti contoh kasus beberapa takmir Masjid di Jakarta. Mereka masih menganggap aneh menyanyikan “Indonesia Raya” pada acara atau kegiatan formal. Padahal, dahulu tidak menjadi persoalan. Akibatnya, rasa nasionalisme hilang. Inilah salah satu dari luka politisasi agama yang lalu.
Kelompok-kelompok civil society berbasis keagamaan seperti Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah, seharusnya ikut berpartisipasi melakukan penyembuhan kepada warga Muslim Jakarta atas luka lama yang terjadi. Luka akibat politisasi agama harus disembuhkan dengan melakukan kegiatan silaturahim. Baik secara intern dan ekstern. Intern khusus sesama warga Muslim. Dengan memberikan pemahaman politik rahmatan lil ‘alamin. Tanpa harus mencederai sesama anak bangsa.
Ekstern dengan melakukan pertemuan-pertemuan antar umat beragama lain. Toleransi yang dapat diukur secara matang. Tanpa melukai keimanan Muslim dan Non-Muslim. Penulis rasa, hal ini dapat diupayakan oleh kelompok-kelompok Muslim seperti NU dan Muhammadiyah.
Sebagai penutup, penulis yang juga cukup lama hidup di Jakarta ikut merayakan ulang tahun yang ke-495. Ada perasaan senang, dan ada perasaan sedih. Sedih karena melihat sisa-sisa akibat politisasi agama yang terus menerus dan akan diproduksi oleh kelompok-kelompok yang tidak bertanggung jawab.