Ketiga, al-Qur’an juga menegaskan, orang-orang yang tak memiliki kepedulian sosial adalah orang-orang kafir. Allah berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, infakkanlah sebagian dari rezeki yang telah Kami berikan kepadamu sebelum datang suatu hari yang pada hari itu tidak ada lagi lagi jual beli, persahabatan yang akrab, dan syafaat. Orang-orang yang kafir itulah orang-orang zalim” (QS, al-Baqarah [2]: 254).
Al-Hasan menyatakan, kata infaq dalam ayat ini berarti zakat. Sementara Ibn Juraih dan Sa’id ibn Jubair berkata, kata infaq dalam ayat ini mencakup zakat yang wajib dan sedekah yang sunat. Menurut Ibn al-’Athiyah, pendapat kedua inilah yang benar.
Lepas dari itu, ayat ini sesungguhnya menghendaki agar setiap orang selalu memperhatikan orang-orang fakir dan miskin dengan cara memberikan bantuan kepada mereka. Orang yang tak berinfak termasuk ke dalam golongan orang-orang kafir.
Keempat, kafir diidentikkan dengan orang yang melakukan kezaliman. Allah berfirman (QS, al-Baqarah [2]: 254), “Orang-orang kafir itu adalah orang-orang zalim”. Allah juga berfirman (QS, al-Nisa’ [4]: 168), “Sesungguhnya orang-orang yang kafir dan melakukan kelaliman, Allah sekali-kali tidak akan mengampuni (dosa) mereka dan tidak (pula) akan menunjukkan jalan kepada mereka”.
Ayat lain menyebutkan, “Orang-orang kafir berkata kepada Rasul-Rasul mereka: “Kami sungguh-sungguh akan mengusir kamu dari negeri kami atau kamu kembali kepada agama kami”. Maka Tuhan mewahyukan kepada mereka: “Kami pasti akan membinasakan orang-orang yang lalim itu” (QS, Ibrahim [14]: 13)
Allah juga berfirman, “Maka siapakah yang lebih zalim daripada orang yang berbuat dusta kepada Allah dan mendustakan kebenaran ketika datang kepadanya? Bukankah di neraka Jahanam tersedia tempat tinggal bagi orang-orang kafir” (QS, al-Zumar [39]: 32).
Kelima, al-Qur’an menghubungkan kafir dengan seseorang yang menghalangi orang lain dalam mencari kebenaran. Ada beberapa ayat yang menunjukkan makna ini. [a] firman Allah, “Mereka melarang (orang lain) mendengarkan al-Qur’an dan mereka sendiri menjauhkan diri daripadanya, dan mereka hanyalah membinasakan diri mereka sendiri, sedang mereka tidak menyadari” (QS, al-An`âm [6]: 26).
[b]. firman Allah, “(yaitu) orang-orang yang menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah dan menginginkan agar jalan itu menjadi bengkok, dan mereka kafir kepada kehidupan akhirat” (QS, al-A’raf [7]: 45)
[c]. firman Allah, “sesungguhnya orang-orang yang kafir itu, menafkahkan harta mereka untuk menghalangi (orang) dari jalan Allah. Mereka akan menafkahkan harta itu, kemudian menjadi sesalan bagi mereka, dan mereka akan dikalahkan. Dan ke dalam neraka Jahanam-lah orang-orang yang kafir itu dikumpulkan…” (QS, al-Anfal [8]: 36)
Keenam, orang yang putus asa juga disebut kafir. Dalam al-Qur’an (Yusuf [12]: 87) disebutkan, “Hai anak-anakku, pergilah kamu, maka carilah berita tentang Yusuf dan saudaranya dan jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir”.
Ayat ini sebenarnya sedang menjelaskan perintah Nabi Ya’kub kepada anak-anaknya untuk mencari anaknya yang hilang, Yusuf. Dalam proses pencarian itu, Nabi Ya`kub menegaskan agar anak-anaknya itu tak berputus asa, karena putus asa merupakan ciri atau watak orang-orang kafir.
Sekalipun turun dalam kisah yang spesifik, pengertian ayat ini bisa ditarik ke dalam pengertian umum bahwa mudah berputus asa merupakan perilaku orang kafir yang harus dihindari.
Ketujuh, orang yang melakukan tindakan kriminal seperti membunuh juga disebut sebagai kafir, seperti yang dilakukan Bani Israel terhadap para nabinya. Al-Qur’an menggambarkan keganasan orang-orang Bani Isarel itu sebagai berikut:
“Sesungguhnya Kami telah mengambil perjanjian dari Bani Israel, dan telah Kami utus kepada mereka rasul-rasul. Tetapi setiap datang seorang rasul kepada mereka dengan membawa apa yang tidak diingini oleh hawa nafsu mereka, (maka) sebagian dari rasul-rasul itu mereka dustakan dan sebagian yang lain mereka bunuh” (QS, al-Mâ’idah [5]: 70).
Di ayat lain juga disebutkan, “Maka (Kami lakukan terhadap mereka beberapa tindakan), disebabkan mereka melanggar perjanjian itu, dan karena kekafiran mereka terhadap keterangan-keterangan Allah dan mereka membunuh nabi-nabi tanpa (alasan) yang benar dan mengatakan: “Hati kami tertutup.” Bahkan, sebenarnya Allah telah mengunci mati hati mereka karena kekafirannya, karena itu mereka tidak beriman kecuali sebahagian kecil dari mereka” (QS, al-Nisa’ [4]: 155)
Mengacu pada keterangan di atas jelas bahwa makna kafir sangat beragam. Akan tetapi, tak bisa dipungkiri bahwa tidak berterima kasih atau tidak bersyukur merupakan makna awal dari kata kafir. Inti dari struktur semantik kata kufr bukanlah “tak percaya”, melainkan “tak bersyukur” atau “tak tahu berterima kasih”.
Meski al-Qur’an kerap mengidentifikasikan kufr dengan “tidak percaya”, makna awal kata itu tak boleh ditinggalkan, karena unsur semantiknya akan hilang kalau sebuah kata selalu dilihat dalam kerangka doktrinalnya belaka.