Dengan demikian, agama acapkali tidak dipahami sebagai sebagai instrumen pembebasan dan pemberdayaan, melainkan lebih mudah dimengerti sebagai alat legitimasi bahkan dominasi. Jika simbol-simbol agama digunakan sebagai tameng dalam mempertahankan kekuasaan, secara tidak langsung agama ditarik paksa untuk tunduk atas kehendak manusia yang berkuasa.
Membangun Sikap Kritis Masyarakat
Dalam konteks kemajuan teknologi, informasi dan kebebasan mengekspresikan pendapat, masyarakat tidak boleh kosong dari sikap kritis untuk melihat pola-pola yang disinyalir dapat menggiring opini publik.
Isu SARA merupakan hal yang sensitif di media sosial, semua orang bernafsu untuk merespon segala hal yang bersinggungan dengan SARA. Sehingga umat muslim dirasa perlu saling mengingatkan agar tidak mudah terprovokasi oleh hal-hal yang dapat membiaskan fokus mereka dari sesuatu yang substansial.
Selain itu, para pemuka agama memiliki peran penting untuk memberikan ketenangan dan pembelajaran yang etis terhadap masyarakat, agar selalu merawas mawas diri dan berhati-hati dan senantiasa bijak dalam merespon segala sesuatu di media sosial.
Bagaimanapun juga, simbol-simbol keagamaan sangat riskan digunakan untuk merebut kekuasaan ataupun mempertahankan kekuasaan. Karenanya para pemuka agama harus memberikan pengajaran yang murni untuk melepaskan jeratan agama dari intrik-intrik politik.
Pendek kata, Indonesia bukanlah negara teokrasi, tapi relasi antara negara dan ajaran agama adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Sehingga keseimbangan elemen masyarakat dan pemerintah amat penting dalam membangun tatanan sosial yang menjunjung tinggi nilai-nilai keagamaan.
Di sisi lain, pemerintah dan masyarakat perlu bersinergi untuk menjaga ajaran agama dari segala kemungkinan yang dapat mengebiri dan memperalat nilai-nilai ajaran agama itu sendiri demi kepentingan politik. Karena sejatinya kehadiran agama dalam lingkaran politik berperan sebagai pedoman etis masyarakat dalam berbangsa dan bernegara.
Wallahu A’lam
Baca Juga: Membangun Agama Kerakyatan