Pertama-tama, saya ingin menempatkan bahwa Islamisme bukanlah Islam itu sendiri. Betul bahwa Islamisme menggunakan kata “Islam”, tetapi dengan adanya tambahan “isme” maknanya menjadi berbeda.
Secara sederhana, Islam adalah agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad, yang di dalamnya terdapat syariat, code of conduct, ritus. Sementara, ketika mendapat tambahan “isme” menjadi Islamisme maknanya menjadi sempit. Islamisme senantiasa dirujukkan kepada lahirnya Ikhwanul Muslimin pada tahun 1928, yang kemudian membesar pada tahun 1970an dan puncaknya ditandai dengan terbunuhnya Anwar Sadar pada September 1981.
Islamisme dapat dita’rif sebagai gerakan muslim yang berkomitmen kuat terhadap aksi politik untuk menerapkan apa yang mereka anggap sebagai agenda Islam. Karena itulah, gerakan ini menempakan Islam sebagai ideologi yang harus mewujud dalam bentuk negara: Negara Islam (Bassam Tibi, 2016). Orang-orang yang berada di barisan ini ingin mengcopy praktik berislam model tananan zaman Nabi terutama di Madinah – Negara Madinah – untuk dipastepada zaman sekarang ini. Selain itu, disebut bid’ah, dan menyalahi aturan Islam.
Islamisme memandang bahwa Islam adalah jenis agama yang harus menjadi ideologi negara, sebagai syarat mutlak untuk menerapkan syariat Islam. Islamisme dapat terekspresikan ke dalam beberapa bentuk. Ia dapat menjadi gerakan massa untuk melakukan perubahan sosial karena tidak puas terhadap rezim yang dinilai tidak berpihak kepada rakyat. Ia juga dapat mewujud dalam gerakan politik, bermetamorfosa menjadi partai politik untuk menggaungkan aspirasinya. Bahkan, salah satu capaian terbesar Islamisme di Mesir adalah melatih dan mencetak guru-guru yang didoktrin dapat mengibarkan bendera Islamisme melalui ruang-ruang kelas (Mahmudah, 2018).
Dalam konteks Indonesia, gagasan-gagasan Islamisme merangsek masuk melalui sebaran ide yang dikomandani oleh Hasan al-Banna. Ia menjadi gerakan politik, yang banyak tergabung ke dalam Partai Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi). Melalui partai inilah, Islamisme masuk dalam percakapan nasional tentang dasar negara. Partai inilah yang mengusulkan bunyi sila pertama Pancasila “Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk- pemeluknya” sebagaimana bunyi Piagam Jakarta. Alasannya, karena Indonesia dihuni oleh mayoritas Muslim.
Masyumi boleh saja dilarang oleh Soekarno pada tahun 1960 karena diduga mendukung pemberontakan PRRI, tetapi sebagai gagasan dan ideologi ia tak mudah dibunuh. Persis seperti Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) bisa saja dibubarkan oleh pemerintahan Jokowi-JK. Tetapi, gagasannya tidak akan pernah bisa dibubarkan, karena ia bersemayam dalam alam pikiran orang per orang.
Apa Yang Salah?
Dalam ruang demokrasi, setiap gagasan perlu dilestarikan. Negara tidak dapat menghukum sebuah gagasan. Karena hukuman pun tak dapat memberikan efek jera kepada gagasan. Cara terbaik merespon sebuah gagasan di negara demokratis adalah dengan gagasan pula, bukan dengan memenjarakannya.
Begitu juga dengan gagasan-gagasan baik diusung oleh kelompok islamis, ataupun lainnya. Pelarangan suatu ideologi di suatu negara demokratis tidak akan pernah mematikan ideologi itu sendiri. Karena ia bersemayam dalam alam pikiran. Seperti komunisme yang dilarang di Indonesia melalui UU No 27 tahun 1999 tentu saja tak dapat sepenuhnya membunuh habis ide ini.