Jihad dalam pengertian berperang untuk mempertahankan diri atas penganiayaan atau serangan orang-orang kafir adalah ayat-ayat jihad dalam periode Madinah, seperti dalam beberapa ayat dalam surat al-Baqarah, al-Anfal, al-Ma’idah, al-Mumtahanah, al-Taubah atau surat Bara’ah, dan lain-lain.
Misalnya firman Allah, “Hai Nabi, berjihadlah (melawan) orang-orang-orang kafir dan orang-orang munafik itu, dan bersikap tegaslah kepada mereka” (QS, al-Tawbah [9]: 73). Ayat ini memang tak menyebutkan sendiri pengertian jihad sebagai peperangan fisik. Namun, tampaknya kebanyakan ulama menafsirkannya sebagai pertempuran fisik.
Jalal al-Din al-Suyuthi & Jalal al-Din al-Mahalli dalam Tafsir al-Jalalain mengartikan ayat tersebut sebagai berjihad dengan menggunakan pedang bagi orang-orang kafir, dan menggunakan jalan dialog dan diplomasi bagi orang-orang munafik.
Pendapat yang sama dikemukakan Al-Thabari, Ibn Katsîr, Al-Qurthubi, Al-Zamakhsyari dengan mengacu kepada tafsir Ibn Abbas dan al-Dlahhak. Sebagian yang lain menyatakan, jihad bisa dilakukan dengan menggunakan tangan, lisan, dan hati.
Pandangan ini tampaknya disandarkan kepada hadits yang memerintahkan umat Islam memberantas kemungkaran dengan tangan, lisan, dan hati. Hadits itu berbunyi, “Barang siapa melihat kemungkaran, maka ubahlah dengan tangan. Kalau tidak mampu, maka dengan lisan. Kalau tidak mampu, maka dengan hati, dan itu adalah selemah-lemah iman”.
Ayat lain misalnya, ”Berangkatlah kamu, baik dalam keadaan merasa senang maupun merasa berat, dan berjihadlah dengan harta dan dirimu di jalan Allah. Yang demikian itu adalah lebih baik bagimu sekiranya kamu mengetahui” (QS, al-Tawbah [9]: 41). Secara eksplisit ayat ini menyuruh umat Islam segera bergegas untuk berperang melawan musuh yang sudah datang mengancam.
Fakhr al-Din al-Razi menegaskan, dalam kondisi bagaimanapun, baik dalam keadaan suka atau tidak suka, dalam keadaan punya bekal atau tidak, dalam keadaan punya senjata atau tidak, umat Islam harus berangkat melawan tantangan orang-orang kafir musyrik.
Melihat ayat jihad dalam makna perang fisik sebagian besarnya turun setelah hijrah, perlu ditegaskan–sebagaimana dikemukakan sebelumnya–bahwa peperangan yang dilakukan Nabi dan pengikutnya lebih merupakan reaksi atas agresi atau penyerangan yang dilakukan lawan-lawannya.
Dengan perkataan lain, jihad dalam makna perang ini tidak bersifat defensif (difa’i) melainkan ofensif. Pada zaman Nabi, perang dilancarkan untuk pertahanan diri.
Menurut Sa’id al-Asymawi, perang fisik ini terpaksa dilakukan akibat serangan bertubi-tubi orang Musyrik Mekah dan orang Yahudi Madinah. Jawdat Said berpendapat bahwa jihad dalam bentuk peperangan fisik ini dilakukan untuk melawan kezaliman, dan bukan untuk menyebarkan Islam.
Karena itu wajar kalau sepulang dari perang Badar, Nabi berpendapat bahwa perang fisik itu sebagai jihad kecil (al-jihad al-asghar). Nabi bersabda,”kami pulang dari jihad kecil menuju jihad besar”. Jihad besar yang dimaksudkannya adalah jihad dengan memerangi hawa nafsu (jihad al-nafs).
Mungkin banyak orang yang mampu menjalankan jihad kecil, tapi belum tentu yang bersangkutan sukses melaksanakan jihad besar. Sebab, menurut Said al-Asymawi, jika jihad kecil bersifat temporal dan tentatif, maka jihad besar tak mengenal batas waktu sehingga membutuhkan stamina dan kekuatan kontrol diri secara terus-menerus.
Said berkata, “Sesungguhnya hukum jihad kecil atau perang adalah hukum yang temporal, spasial dan spesifik. Sementara yang permanen adalah jihad besar, yaitu berjuang mengendalikan hawa nafsu”.
Jamal al-Banna menambahkan, jihad dalam makna etis-moral merupakan makna pokoknya, sedangkan jihad dalam pengertian perang fisik merupakan makna cabangnya. Dengan penjelasan-penjelasan tersebut, tentu sebuah kekeliruan jika makna jihad direduksi sebagai perang suci (holy war).
Ini karena di samping bermakna perang untuk membela diri (al-difa’ ’an al-nafs), jihad dalam periode Madinah juga berarti memberikan bantuan harta terhadap orang yang membutuhkannya.
Allah berfirman dalam al-Qur’an, “Sesungguhnya orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjihad dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah, mereka itulah orang-orang yang benar” (QS, al-Hujurat [49]: 15).
Jihad dengan harta ini sangat dibutuhkan untuk membantu orang-orang Muhajirin yang belum mendapatkan pekerjaan ketika tiba di Madinah. Said al-Asymawi berpendapat, kaum Muhajirin sendiri sebenarnya sudah berjihad dengan harta.
Mereka meninggalkan semua harta benda yang dimilikinya di Mekah untuk hijrah bersama Nabi ke Madinah. Karena itu, bukan merupakan sebuah kebetulan, jika berjihad dengan harta selalu disebut al-Qur’an dengan lebih awal ketimbang berjihad dengan jiwa.
Abdul Moqsith Ghazali
Baca Juga: Dakwah Nabi: Ajarkan Islam yang Ringan Dulu